Ke Batan Moning Wedhasmara Kembali

Oleh: Agung Bawantara

Orang Bali bukanlah bangsa perantau yang teguh. Seperti bangau, sejauh-jauh mengepakkan sayap, pada saatnya mereka pulang ke sarang dan menetap. Banyak memang orang Bali yang meninggalkan kampung halaman untuk tidak kembali lagi. Tapi itu bukan karena panggilan jiwa rantau. Sebagian besar karena situasi darurat dan kepergian mereka tidak sendiri. Biasanya mereka tengah menghadapi persoalan berat lalu bergerombol dengan orang-orang Bali senasib untuk pergi mencari dan membangun desa baru di tanah baru. 

I Gusti Putu Gede Wedhasmara mungkin contoh yang baik untuk jiwa bukan rantau ini. Bangsawan Puri Batan Moning, Banjar Gerenceng Denpasar kelahiran 1932 ini pernah melanglang jauh dan sukses.
  Saat merantau ke Yogyakarta lalu ke Jakarta di tahun 1940an, dengan mantap ia menapakkan langkah dan menyejajarkan diri dengan musisi dan komponis hebat seperti Gesang, Idris Sardi, Pranadjaya, Ismail Marzuki, Bing Slamet, dan Cornel Simanjuntak. Di Ibokota, dari kreativitasnya lahir ratusan lagu yang menyuburkan khazanah musik pop di tanah air. Beberapa di antaranya bahkan melegenda seperti ''Kau Selalu Dihatiku'', ''Bunga Flamboyan'', "Senja di Kaimana", "Senja di Batas Kota", dan ''Berpisah di Teras St. Carolus''. Hingga kini lagu-lagu itu masih banyak digemari.

http://mazef.multiply.com/journal/item/54
Tapi, setelah karir musiknya mulai kokoh, Wedhasmara justru memutuskan pulang ke Grenceng, kampung masa kecilnya.  Tak ia hiraukan pertanyaan mengapa dirinya tidak bertahan saja di Ibukota untuk mengenggam karir yang telah dirintis sekian lama sebagaimana yang dilakukan oleh Idris Sardi, Pranadjaya, Ismail Marzuki, Bing Slamet, Cornel Simanjuntak  dan kolega lainnya. Itulah orang Bali. Terlebih orang Bali genarasi Wedhasmara. Aroma bunga dan dupa dari tanah tua di merajan kawitan  (pura keluarga) adalah tali maya yang melilit jantung-jiwa mereka. Pada saatnya, tali itu seperti ditarik oleh sesuatu yang tak tampak yang menyebabkan mereka gelisah untuk pulang dan menetap hingga “kereta kencana dari alam tanpa raga” datang.

Tanah tua di Bali dengan merajan kawitan-nya memang sungguh misterius. Merajan adalah tempat suci yang selalu ada di hampir seluruh rumah seluruh orang Bali Hindu. Kawitan adalah asal-mula. Di tempat itulah setiap orang Bali yang khusyuk, membenamkan dirinya untuk menziarahi asal-mula. Sebagian orang Bali menganggap Kawitan adalah leluhur mereka yang Agung. Sebab dari para leluhur itulah setiap tetes darah mereka berasal.  Tapi, sebagian lainnya beranggapan lebih dari itu. Asal mula manusia jauh lebih dalam  dari sekadar leluhur.  Bagi mereka, karena manusia diciptakan bersamaan dengan alam semesta, maka kawitan manusia adalah Sang Pencipta Semesta Raya. Dan, ritual keagamaan yang dijalani manusia Bali sejak di dalam kandungan selalu menggandengan Sang Asal Mula dengan tanah tua di kampung-halaman. Seolah ruh mereka menyuat dan menjadi dari sebuah celah di tanah itu. Barangkal hal inilah yang membuat hampir semua orang Bali selalu rindu pulang.

Dan, sebagaimana kebanyakan orang Bali yang merantau jauh lalu pulang, Wedhasmara pun berada tak jauh dari merajan kawitan-nya.  Kini, legenda yang turut mengantarkan seniman tiga era Titik Puspa menggapai puncak popularitasnya itu menghabiskan masa senjanya di Puri Batan Moning, Grenceng. Di usianya yang telah melamaui tahun ke-80 ia menjalani hari-hari sebagai karma Bali yang akrab dengan urusan adat-istiadat. Tidak sungguh menyilaukan baginya taburan kekaguman yang ditujukan kepadanya, termasuk berbagai penghargaan seni yang diberikan oleh Walikota, Gubernur bahkan Menteri. Ia menerima semua itu dengan sahaja. Baginya, kembali ke Batan Moning dan mengisi hari-hari dengan kesederhanaan adalah cara yang paling nyaman untuk mempersiapkan diri menuju asal-mula. Sesuatu yang tak seorangpun dapat menghindarinya.


*Tulisan ini pernah dimuat di Bali Post Minggu, 12 Februari 2012

Post a Comment

Previous Post Next Post