Tumba Si Penjinak Petir

Wajah Tumba tampak tegang. Padahal pagi begitu indahnya. Matahari cemerlang dan angin semilir dari pegunungan. Burung-burung berkicau ceria dan bunga-bunga memamerkan senyumnya. Namun semua itu tak membuat Tumba turut bersenang. Seperti buah apel tergelincir ke pinggan panas, wajahnya terlihat resah dan gundah.

Apa gerangan yang membuat Tumba seperti itu? Rupanya hari itu  di perguruan silat Teja Murti, tempat Tumba menimba ilmu, akan diadakan ujian kenaikan tingkat. Tumba adalah salah satu murid yang akan diuji. Tumba merasa dirinya belum siap. Itulah yang membuatnya tegang bukan kepalang. Tumba khawatir dirinya tak mampu melewati soal demi soal sehingga tidak lulus dan merasa malu karenanya.

Ini bukan kali pertama Tumba mengalami ketegangan macam itu. Sebelumnya, sudah belasan kali dia menghadapi ujian dan selalu merasakan ketegangan yang hebat. Dan, setiap mengalami hal itu, penyelesaian yang ditempuhnya selalu sama, yaitu melarikan diri.  Ya, Tumba selalu meninggalkan perguruan tempatnya belajar sesaat sebelum ujian dimulai. Kemudian dia mencari perguruan lain dan belajar di situ hingga menjelang ujian kenaikan tingkat dilakukan.

Entah kenapa, Tumba selalu merasa ragu dan tak siap menghadapi ujian. Setiap menjelang ujian kenaikan tingkat, Tumba merasa gelisah dan tegang berhari-hari lamanya. Hal itu selain membuat kesehatannya terganggu, juga membuat kemampuan Tumba tak maju-maju. Sebab, ia tak pernah melewati ujian dan selalu memulai kembali pelajaran dari awal di perguruan yang baru.

Pagi ini, sudah lima hari Tumba menimbang-nimbang rencana. Selama itu, ia diombang-ambing oleh keraguan antara hendak pindah ke lain perguruan atau tetap di situ menghadapi ujian dan menerima apa pun hasilnya. Betapa pun dalam diri Tumba menyeruak rasa bosan terus berpindah-pindah perguruan. Apalagi hampir semua perguruan sudah ia masuki lalu ia tinggal. Tentu ia malu untuk kembali ke perguruan-perguruan itu dan memulai lagi pelajaran dari mula.

Setelah bertimbang lama, rasa gentar di hati Tumba tetap mengeras. Sekali lagi ia memutuskan meninggalkan perguruan dan beralih ke perguruan lain. Pikirnya, biarlah ini yang terakhir. Setelah ini, di perguruan yang baru, dia bertekad untuk benar-benar berlatih dan menyiapkan diri menghadapi ujian.

Namun langkah Tumba terhadang persis saat ia hendak keluar dari gerbang perguruan Teja Murti. Ki Sangging, gurunya, berdiri tepat di tengah jalan membuat langkah Tumba tertahan. Rupanya  Sang Guru cermat mengamati gerak-gerik setiap muridnya. Maka begitu Tumba menunjukkan gelagat aneh, pendekar sakti yang sangat disegani di dunia persilatan itu langsung mengetahuinya.

Kau harus menghentikan kebiasaanmu melarikan diri dari ujian,” ucap Ki Sangging dengan nada rendah. Ucapan itu menggetarkan jantung Tumba.

“Maaf, sa…saya…eee… Bagaimana Guru tahu bahwa saya akan pergi?” ucap Tumba gugup.

“Aku sudah mengajar ribuan murid. Yang sepertimu sudah kuhadapi ratusan kali,” ucap Ki Sangging  masih dengan nada rendah.

Tumba tercekat. Ia menunduk malu merasa isi pikirannya diketahui gurunya.

“Masuk dan simpan kembali barang-barangmu di kamar. Hadapi dengan tenang ujian hari ini,” perintah sang Guru.

Tumba menurut. Ucapan berwibawa dan tatapan tajam gurunya seperti menyihirnya untuk patuh. Setelah itu Tumba pun menghadapi ujian kenaikan tingkat bersama teman-teman seangkatannya. Karena dilakukan dengan perasaan tak yakin, hasil ujian Tumba tidak begitu memuaskan. Tapi ia lulus. Dan, yang terpenting, ia telah berani menghadapi ujian!

Setelah hari bersejarah itu, Tumba berubah drastis. Ia sangat bersemangat melatih diri dan tak gentar menghadapi ujian di ujung setiap tingkatan. Hal mana membuatnya muncul sebagai pendekar muda yang hebat.

Melihat itu, Ki Sangging merasa amat senang. Rasa sayangnya pun meluap-luap terhadap murid yang cemerlang itu. Kemudian secara bertahap Ki Sangging pun melimpahkan kepada Tumba semua ilmu yang ia miliki.

Setelah berhasil menguasai semua ilmu itu, Tumba melangkah ke pelajaran yang lebih tinggi, yakni ilmu menangkap petir. Ini adalah pelajaran berat yang Ki Sangging sendiri pun tak sunggup menguasainya. Tumba tak mundur. Sejak berani menghadapi ujian, sifat ragu dalam diri Tumba melesat jauh entah ke mana. Ujian sesulit apa pun tak lagi membuatnya gentar.

Dengan tekun Tumba terus mempersiapkan diri, bahkan ketika Ki Sangging sendiri memintanya untuk mengurungkan niat mempelajari ilmu ini sebab sangat-sangat berbahaya bagi keselamatan Tumba sendiri.

Ketika tiba saat uji kemampuan,  Tumba berdiri tegak di puncak sebuah bukit. Berbekal pelajaran dari Ki Sangging, Tumba tampak percaya diri menyambut petir dan bersiap menangkapnya.

Kau harus bergerak pada saat yang tepat!” begitu nasehat Ki Sangging yang selalu diingatnya. “Dan, setiap gerakan harus kau lakukan dengan penuh keyakinan.

Maka ketika petir itu datang menyambar, dengan cepat Tumba meloncat lalu mencekal ujung cemeti listrik itu. Dan, oleh Tumba, petir yang telah jinak di tangannya itu ia putar-putar beberapa kali lalu ia lemparkan kembali ke awan terjauh.

~ o ~

    CATATAN BAGI ORANGTUA
  • Dongeng ini ditulis Agung Bawantara untuk membantu menangani anak yang peragu.
  • Setelah bercerita, jangan menyimpulkan. Biarkan anak mencerna sendiri isi dan moral cerita.
  • Upayakan anak tak merasa dirinya disindir oleh cerita.
  • Perlambat membaca dan beri tekanan yang lebih tegas pada kalimat yang diberi high light. Bila perlu diulang. Ingat, jangan sampai si anak merasa sengaja disindir dengan kalimat itu. 

Post a Comment

Previous Post Next Post