Gianyar dan Sebuah Dongeng Tidak Berlebih

Oleh: Agung Bawantara


Kisah ini konon terjadi di Gianyar, tapi entah kapan. Pelakunya adalah Pan Bekung yang setiap hari mencari daun Sente untuk dijualnya di pasar. Daun Sente adalah semacam Talas yang oleh pedagang palen-palen di pasar digunakan membukus irisan daun tembakau. Irisan daun tembakau sendiri adalah bagian dari paket sirih-pinang. Orang Bali menyebutnya mako atau seseban. Oleh para penginang, mako adalah "hidangan" terakhir setelah lembar-lembar sirih berisi kapur, gambir dan pinang ludas terkunyah.  Semacam dessert-lah. Sekarang, paket itu sudah menjadi barang yang amat langka.  

Hari itu, entah kenapa, setelah mendapatkan seikat besar daun sente, Pan Bekung lupa jalan pulang. Ia tersesat jauh. Jalan-jalan yang ditempuhnya tak membawanya menuju rumah, melainkan ke rerimbunan yang asing baginya. Semakin lama berjalan, semakin jauh ia tersesat.  Hingga sampailah Pan Bekung pada sebuah telaga kecil di mana ia langsung menyendokan telapak tangan dan meneguk air segar yang terperangkap di atasnya.


Begitu seteguk air masuk ke tenggorokannya, Pan Bekung terkesima. Bukan hanya karena seketika ia merasa bugar, tetapi kulit keriputnya mendadak kencang dan semangatnya kembali seperti saat ia berusia 30 tahun. Segera Pan Bekung berkaca di telaga. Wow! Dia menjadi muda kembali! Dia menjadi kuat kembali!

Mendapati hal itu, segera Pan Bekung berlari menembus semak. Dengan ketangkasan yang luar biasa,  dia berhasil mengurai ketersesatannya dan tiba di rumah dalam waktu yang tak begitu lama. Setiba di rumah, Men Bekung, istrinya, tak mengenalinya. Dengan cepat Pan bekung menuturkan pengalamannya dan mendesak  istrinya  mendatangi datang telaga tadi untuk meminum airnya agar ia pun kembali muda. 

Tak perlu waktu lama bagi sebuah semangat yang membara. Hanya dalam hitungan menit keduanya sudah tiba di tujuan. Men Bekung  langsung meminum air telaga dan segera mendapatkan keajaibanya. Ia kembali menjadi perempuan muda yang aduhai.

Pan Bekung bungah dan mengajaknya segera pulang. Tak sabar hatinya untuk merayakan keajaiban ini. Tapi Sang Istri menolak. Ia meminta sedikit lagi waktu untuk merasakan kesegaran air telaga. Karena sedang bahagia, Pan Bekung mengabulkannya. Ia beranjak dari telaga dan menunggu istrinya di bawah sebuah pohon rindang tak jauh dari situ. Tapi, setelah agak lama dia menunggu dan istrinya tak kunjung menyusul, Pan Bekung penasaran. Ia bangkit dan berjalan menuju telaga. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati seorang bayi perempuan asyik bermain di tepi telaga. Setelah berpikir sejenak, mahfumlah Pan Bekung bahwa bayi itu adalah istrinya yang meminum air telaga terlalu banyak!

Kisah di atas diceritakan oleh kakek saya saat saya masih sangat belia. Ketika saya tanyakan di mana telaga itu, sambil menyelimuti saya yang bersiap tidur Kakek mengatakan bahwa telaga itu ada di Gianyar.

Setelah besar, saya mencari telaga itu. Mula-mula saya duga telaga itu ada di Tampak Siring. Karena di wilyah itulah ada banyak mataair. Tapi tak ada telaga awet muda di sana. Kisah tentang pasangan Pan dan Men Bekung pun tak punya jejak di situ. Yang ada hanyalah kisah tentang Indra, dewa jagoan yang memimpin para dewa meng-impeached Prabu Maya Denawa. Persis seperti anggota DPR melengserkan seorang presiden.  Indra bahkan lebih dari itu. Tidak hanya menggulingkan Sang Raja dari tahta, ia juga menggiring si Durjana ke alam baka!

Alasan Indra mengenyahkan Prabu Maya Denawa adalah karena raja perkasa itu menganggap dirinya sebagai Tuhan. Maya Denawa juga semena-mena terhadap rakyat dan suka mimik Tuak hingga mabuk berhari-hari. Nalar saya yang pendek dan kecil segera menyetujui tindakan Dewa Indra. Pemimpin yang semena-mena  memang harus dienyahkan. Hanya sekali saya sempat bimbang. Yakni ketika guru agama Hindu di sekolah menunjukkan sebuah ayat. Katanya ayat itu terdapat dalam Kitab Brhad Aranyaka Upanisad.  Ayat itu berbunyi: Aham Brahma Asmi. Artinya: Aku adalah Brahman. Aku adalah Tuhan! Ayat itu, kata sang Guru, mengajarkan bahwa sesungguhnya kita semua adalah bagian dari Tuhan. Dan, dalam diri kita ada kemahakuasaan Tuhan yang "terperangkap" oleh kebodohan dan nafsu duniawi kita. Saat itu saya pun tergelitik bertanya, "Lalu,  kenapa Maya Denawa dihukum oleh Dewa Indra  ketika dia mengatakan dirinya adalah Tuhan?" 

Untuk pertanyaan yang lugu itu, dengan lihai guru saya menjawab bahwa hukuman para dewa terhadap Maya Denawa adalah karena kesemena-menaan dan kejumawaannya. Titik. Saya tak punya bukti untuk menyangsikan. Sementara Sang Guru punya dogma yang telah mengendap kuat bukan hanya pada dirinya tetapi pada benak seluruh pemeluk Hindu di Bali. Pokoknya, pada benak semua orang yang gegap-gempita merayakan hari Galungan. 

Kembali ke soal telaga awet muda. Dari Tampak Siring, mengendarai sepeda motor,  saya bergerak ke arah selatan. Menurutkan alur Sungai Pakerisan.  Barangkali di sekitar sungai ini ada jejak yang menunjukkan di mana telaga awet muda yang saya cari itu berada. Tibalah saya  di kawasan Candi Gunung Kawi dan Pura Pengukur-ukuran. Tak seberkas pun terlihat jejak yang saya cari di kedua situs itu. Yang saya temukan adalah jejak bahwa di masa lampau sungai adalah sesuatu yang vital sehingga kerajaan-kerajaan Bali kuna didirikan di tepian sungai. Pada masa itu sungai mungkin semacam akses utama, untuk alam nyata maupun alam gaib. Sekarang, di saat gemerincing dollar semakin nyaring terdengar, jalan rayalah yang utama.

Saya terus bergerak menuju hilir hingga tiba di sebuah pantai. Pantai Lebih, namanya. Tetap tak saya temukan telaga yang saya cari. Di bibir selatan Kabupaten Gianyar itu saya malah penasaran dengan nama pantainya: Pantai Lebih. Nama itu menarik bagi saya karena sebagai dataran rendah, kawasan itu diberi nama Lebih bukan Lebah yang dalam bahasa Bali berarti dataran rendah. Di seantero Bali, ada puluhan desa atau banjar yang letaknya lebih rendah dari pusat keramaian di sekitarnya, di beri nama Lebah.
Mungkinkah karena  kawasan itu "lebih" luas  daripada yang lainnya? Tidak juga. Ia hanya bibir pantai biasa yang tak begitu luas.

Ah, entahlah. Yang jelas, hingga sejau itu rasa penasaran saya mengenai letak telaga awet muda yang diceritakan oleh kakek saya belum terlunasi. Dan, itu menghantui saya hingga berhari-hari.

Ketika nyaris menyerah, di rumah secara kebetulan saya menemukan tumpukan buku lawas milik kakek. Di antara buku-buku tersebut terselip sebuah buku dongeng Jepang yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Ketika saya baca, terkuaklah rahasia itu. Ternyata cerita tentang Pan Bekung dan telaga awet muda itu adalah cerita adaptasi dari dongeng Jepang yang terdapat di dalam buku tersebut. Dugaan saya, kemungkinan saat mendongeng 40 tahun yang lalu, Kakek berniat mengajarkan sikap tidak berlebihan kepada saya. Namun ia tak memiliki dongeng yang pas untuk menyampaikan pesan tersebut. Dengan cerdik ia pun meminjam sebuah dongeng dari negeri jauh dan menceritakannya seolah-olah terjadi di Gianyar. Sebuah upaya yang tidak berlebih, saya kira.***


Post a Comment

Previous Post Next Post