Lanti Mengubah Tradisi



Cerita Agung Bawantara


Di sebuah dusun di kaki gunung yang anginnya selalu membawa aroma pinus, tinggal seorang anak perempuan bernama Lanti. Usianya baru dua belas tahun, tetapi keberaniannya sudah setara dengan anak laki-laki sebayanya. Setiap tahun, keluarganya memiliki tradisi berburu rusa saat awal musim gugur, suatu kebiasaan yang sudah diwariskan turun-temurun. Namun, berburu ini selalu dianggap kegiatan untuk laki-laki, dan Lanti hanya bisa mengamati dari jauh. Setiap kali ayah dan kakaknya bersiap-siap—memoles tombak, memasang pisau, mengemas peralatan untuk berkemah—ia merasakan panggilan kuat untuk turut serta.


Suatu sore, Lanti memberanikan diri mendekati ayahnya dan berkata, “Ayah, bolehkah aku ikut berburu kali ini?” Ayahnya terkejut, lalu tertawa kecil. "Tradisi ini bukan untuk anak perempuan, Lanti," jawabnya lembut, meski nada suaranya jelas. Tapi Lanti tak menyerah. “Aku bisa menjaga diri, Ayah. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya berjalan di hutan bersama kalian.” Melihat keteguhan hati putrinya, ayahnya akhirnya mengangguk dan berbisik kepada kakaknya, “Berilah dia kesempatan, tapi pastikan ia tidak mendekati binatang apa pun.”


Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Dengan mengenakan pakaian tebal dan tombak kecil di tangannya, Lanti memasuki hutan bersama ayah dan kakaknya. Pohon-pohon menjulang tinggi di sekitarnya, dan suara burung serta desau angin menciptakan suasana yang damai. Lanti merasa kagum dan hormat pada hutan ini, yang belum pernah ia lihat begitu dekat. Saat perjalanan semakin jauh, Lanti mulai melihat rusa-rusa di kejauhan. Tetapi, alih-alih ingin menangkap mereka, ia justru terpana oleh keanggunan binatang-binatang itu. Dalam hatinya muncul perasaan kagum yang dalam—mengapa tradisi keluarganya harus berakhir dengan menangkap makhluk-makhluk ini?


Menjelang sore, ayah dan kakaknya melihat seekor rusa besar sedang merumput dekat semak-semak. Mereka segera mengambil posisi untuk menyerang. Namun saat melihat rusa itu berdiri, memandang mereka tanpa perlawanan, Lanti tiba-tiba maju dan berbisik dengan nada yang jelas namun lembut, “Jangan, Ayah! Aku ingin kita menghormati mereka, seperti mereka menghormati kita dengan tidak melawan.” Ayah dan kakaknya terkejut mendengar permintaan Lanti. Ayahnya menatap mata putrinya, dan dengan perlahan menurunkan tombaknya.


Dalam keheningan yang menyelimuti mereka, ayah dan kakaknya berjalan kembali menuju rumah bersama Lanti. Tak ada kata yang terucap sepanjang perjalanan, namun perubahan dalam hati mereka masing-masing terasa nyata. Lanti tahu bahwa ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada berburu, yaitu kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan alam.


Sesampainya di rumah, Lanti mengutarakan ide yang telah tumbuh dalam benaknya. “Bagaimana jika kita mengganti tradisi berburu ini, Ayah? Mari kita rawat hutan ini sebagai keluarga, seperti nenek moyang kita merawat kita. Kita bisa menanam pohon setiap kali musim gugur dan membantu binatang-binatang itu hidup damai.” Ayahnya menatap Lanti dengan bangga, lalu berkata, "Kamu benar, Lanti. Mungkin sudah saatnya kita berubah."


Sejak saat itu, setiap awal musim gugur, keluarga Lanti tidak lagi membawa tombak, melainkan benih pohon. Mereka menanamnya bersama di hutan, menciptakan tradisi baru—bukan berburu, melainkan merawat, menghormati, dan melindungi alam. Tradisi yang Lanti percaya akan hidup lebih lama dari sekadar satu generasi.