Burung Pemurung dan Batu Bernyanyi


Dongeng karya Agung Bawantara


Burung itu duduk di atas ranting pohon tua, memandang ke arah langit dengan tatapan sendu. Sayapnya terkulai lemah, seolah menanggung beban yang tak terlihat. Setiap kali angin berhembus, burung lain di sekitar terbang tinggi dan melayang bebas di udara, tetapi ia hanya bisa duduk diam, merasakan kegelisahan yang mendalam. Dalam hatinya, ia selalu bertanya, "Mengapa aku tidak bisa terbang seperti mereka? Mengapa sayapku tak sekuat burung-burung lain?"


Setiap hari, burung kecil ini, yang dikenal sebagai Burung Pemurung, menyesali dirinya sendiri. Ia merasa hidupnya tak berarti karena tak mampu mencapai ketinggian seperti burung-burung lain. Dalam diamnya, ia sering kali mendengar suara merdu yang datang dari suatu tempat di lembah. Suara itu terdengar seperti nyanyian yang menenangkan, mengalir bersama angin, mengisi kehampaan di sekitarnya.


Suatu sore, rasa ingin tahu membawanya terbang rendah, mengikuti alunan suara tersebut. Ia tiba di tepi sungai, di mana terdapat sebuah batu besar yang tampak biasa saja. Namun, ketika angin berhembus, batu itu mulai bernyanyi, suara merdunya menggema di antara pepohonan.


Burung Pemurung mendekat, hatinya dipenuhi rasa ingin tahu dan kekaguman. "Batu," katanya dengan suara lirih, "bagaimana kau bisa bernyanyi begitu indah, padahal kau hanyalah batu yang tak bisa bergerak?"


Batu Bernyanyi, begitu semua penghuni lembah itu menyebutnya, tersenyum lebar. Dengan lembut, ia menjawab, "Aku tidak bisa terbang, tidak bisa melihat dunia seperti kalian. Namun, aku diberkahi kemampuan menyerap dan memantulkan suara angin. Aku tidak iri pada kalian yang bisa menjelajahi langit, karena aku telah menemukan kebahagiaan dalam caraku sendiri—bernyanyi bersama angin."


Burung Pemurung terdiam. Kata-kata Batu Bernyanyi menggema di hatinya, menimbulkan rasa ragu yang aneh. "Tetapi apa gunanya sayap jika aku tidak bisa terbang tinggi seperti burung-burung lain? Apa artinya menjadi burung jika aku hanya bisa duduk di ranting dan menyesali diriku sendiri?"


Batu Bernyanyi, dengan suara yang lembut namun penuh makna, menjawab, "Kamu tidak dilahirkan untuk menjadi seperti burung-burung lain, tetapi untuk menemukan caramu sendiri dalam menikmati dunia. Mungkin terbang tinggi bukanlah takdirmu, tetapi itu bukan berarti hidupmu tak berarti. Temukanlah apa yang bisa membuatmu bahagia, bukan apa yang membuatmu iri."


Burung Pemurung merenungkan kata-kata itu. Malam itu, saat bintang-bintang mulai bermunculan, ia memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru. Ia tidak lagi berusaha terbang tinggi, tetapi mengepakkan sayapnya perlahan, mengikuti irama angin yang bertiup lembut. Dalam gerakan sederhana itu, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda—kebebasan yang tidak datang dari ketinggian, tetapi dari harmoni dengan alam di sekitarnya.


Ia mulai menyuarakan sebuah lagu yang datang dari dalam dirinya, sebuah nyanyian sederhana yang menceritakan tentang keputusasaan, harapan, dan penerimaan. Nyanyian itu berpadu dengan suara Batu Bernyanyi, menciptakan sebuah harmoni yang lembut dan menenangkan. Untuk pertama kalinya, Burung Pemurung merasakan kebahagiaan yang tulus—kebahagiaan yang datang dari penerimaan diri dan menemukan tempatnya di dunia.


Burung itu tak lagi duduk muram di ranting pohon tua. Kini, ia mengerti bahwa kekuatan sejati bukanlah soal mencapai apa yang dilakukan oleh pihak lain, tetapi soal menemukan dan menikmati keunikan dalam dirinya sendiri. Ia belajar bahwa setiap makhluk memiliki lagu yang unik, dan hanya dengan menyanyikan lagu tersebut dengan sepenuh hati, ia bisa menemukan kebahagiaan sejati.***