Jejak Tami di Padang Sunyi


Dongeng karya Agung Bawantara 

Di sebuah hutan, hiduplah seekor tupai bernama Tami. Bukan tupai biasa, Tami dikenal oleh semua makhluk sebagai hewan berpikiran maju yang memulai Festival Lompat Pohon tahunan. Setiap purnama ketujuh, di bawah terang sinar bulan, Tami dan sekelompok hewan terpilih menampilkan lompatan-lompatan berani dan anggun dari dahan ke dahan, dari pohon ke pohon. Makhluk dari seluruh penjuru hutan berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan yang menakjubkan itu.

Setiap lompatan Tami disambut dengan tepuk tangan meriah dan sorak kegembiraan. Hutan bergema dengan suara sukacita, daun-daun bergetar oleh getaran keceriaan. Dalam momen-momen itu, Tami merasakan hubungan mendalam dengan dunia di sekitarnya, seolah-olah setiap lompatan adalah tarian dengan alam semesta.

Namun, seiring berputarnya musim, seekor elang besar bernama Rayawa datang melintasi hutan. Dengan sayap yang seolah membentang langit dan tatapan mata yang tajam, Rayawa menampilkan pertunjukan udara yang megah di puncak-puncak pohon. Pandangan hewan-hewan pun tertuju ke arah atraksi Rayawa yang memesona. Perlahan mereka beralih dari Festival Lompat Pohon, menuju keindahan akrobatik Rayawa.

Tami menyaksikan dengan berat hati saat penontonnya berkurang, arena yang dulu ramai kini lengang. Teman-teman, yang dulu berbagi kegembiraan, kini memunhgungi. Perhatian mereka telah tertawan oleh keajaiban baru di langit.

"Apa gunanya lompatan-lompatanku jika tak ada yang menyaksikan?" Tami berbisik pada angin, perasaan hampa menyelimuti hatinya. Hutan, yang dulu tempat perayaan, kini terasa asing dan dingin.

Suatu pagi, dengan desah yang dalam, Tami memutuskan untuk meninggalkan hutan. "Mungkin di luar sana, aku bisa menemukan makna baru," pikirnya. Dengan pandangan terakhir pada kanopi pohon yang dulu ramah, ia melangkah menuju padang luas yang sunyi di luar tepi hutan.

Di padang sunyi itu, Tami terus melompat dan berlari. Namun kini, gerakannya hanya ditemani oleh bisikan angin dan gemerisik rumput. Tak ada sorak-sorai, tak ada tepuk tangan—hanya hamparan cakrawala dan tatapan langit yang acuh tak acuh. Angin padang yang selalu bertiup kencang menghapus jejak kakinya hampir seketika, rumput kembali tegak seolah menyangkal perjalanannya.

"Apakah ada yang peduli dengan jejak-jejak ini?" Tami merenung, merasa lebih kecil dan tak berarti dari sebelumnya. Bayangan keraguan merayapi pikirannya, mempertanyakan tujuan dan keberadaannya.

Hari-hari berlalu, hingga suatu sore, Tami bertemu dengan seekor kelinci tua yang beristirahat di bawah bayangan semak belukar. Mata kelinci itu dalam dan penuh pengetahuan, mencerminkan kebijaksanaan dari perjalanan panjang yang telah dilaluinya.

"Kau melompat sendirian di padang luas ini, Nak," kata kelinci dengan suara lembut yang sarat makna. "Mengapa kau meninggalkan hutan yang menjadi rumahmu?"

Tami berhenti, ekornya berkedut tak pasti. "Aku tak lagi berarti di sana," jawabnya dengan jujur. "Ada yang lain—lebih besar dan lebih menakjubkan—yang telah menarik perhatian semua. Lompatan-lompatanku tak lagi membawa kegembiraan; tak ada yang peduli untuk menyaksikanku lagi."

Kelinci itu mengangguk perlahan, seolah memahami beban di hati Tami. "Kadang-kadang, jejak yang kita tinggalkan tak terlihat oleh mata," ujarnya. "Namun, itu tidak berarti jejak itu tak ada. Nilai dari apa yang kita lakukan tidak selalu diukur dari pengakuan orang lain."

Tami mempertimbangkan kata-kata kelinci itu, merenungkannya seperti biji kenari di antara cakarnya. "Tapi apa gunanya melompat jika tak ada yang melihat atau menghargainya?" tanyanya. Keraguan masih menyelimuti Tami. 

"Apakah matahari berhenti bersinar ketika awan menutupinya?" balas kelinci dengan senyum samar. "Keberadaanmu, kegembiraanmu dalam melompat—itu memiliki nilai tersendiri. Mungkin ada makhluk lain yang diam-diam terinspirasi olehmu, meski kau tak menyadarinya."

Meski belum sepenuhnya yakin, Tami berterima kasih kepada kelinci itu dan melanjutkan perjalanannya. Ia mulai bernyanyi pelan saat bergerak, melodi yang merayakan angin, langit, dan kebebasan yang ia rasakan dalam setiap lompatan. Perlahan, perasaan ringan kembali ke hatinya, seperti daun yang terangkat oleh angin.

Seiring waktu, kerinduan Tami untuk pengakuan mulai memudar. Ia menemukan kedamaian dalam irama langkahnya sendiri, dalam bisikan angin melalui rumput, dan dalam luasnya langit di atas ubun-ubunnya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati mungkin terletak dalam penerimaan diri dan kegembiraan dalam hal-hal sederhana.

Kemudian, suatu sore setelah badai hebat menyapu padang, Tami dikejutkan oleh kehadiran seekor tikus kecil yang tergopoh-gopoh menghampirinya. Napas tikus itu terengah-engah, matanya berbinar dengan kegembiraan dan kelegaan.

"Tami! Aku telah mengikutimu," cicitnya dengan suara penuh syukur. "Lompatanmu membawaku ke sini!"

Terkejut, Tami menatap makhluk kecil itu. "Bagaimana kau bisa mengikutiku? Angin menghapus jejakku; tak ada jalan yang bisa diikuti."

Tikus kecil itu tersenyum lebar. "Benar, angin menghapus jejakmu, tapi aku melihat goyangan rumput, jejak halus dari lompatanmu. Jejakmu membawaku keluar dari semak berduri dan menjauhkanku dari kawanan elang yang sedang berburu. Tanpamu, mungkin aku sudah binasa. Terima kasih, Tami."

Kehangatan menyebar di dada Tami. Ia tak pernah membayangkan bahwa lompatan-lompatannya, yang dilakukannya tanpa penonton atau tepuk tangan, bisa memiliki dampak sebesar itu bagi makhluk lain.

"Aku hanya melompat," katanya dengan rendah hati.

"Tapi lompatanmu telah menyelamatkanku," jawab tikus itu dengan mata berkilauan.

Dalam momen itu, Tami memahami makna dari kata-kata kelinci tua. Tindakannya, meski tak terlihat atau diakui oleh banyak orang, memiliki arti dan dampak yang mendalam. Dengan semangat yang diperbarui, ia terus melompat dan berlari melintasi padang, tidak lagi mencari pengakuan, tetapi menikmati kebebasan dan kegembiraan menjadi dirinya sendiri.

Ia menyadari bahwa meskipun jejaknya mungkin hilang ditelan angin, dampak perjalanannya tetap hidup dalam cara yang tak terduga. Di suatu tempat, seseorang mungkin terbantu, terinspirasi, atau diselamatkan oleh jalan yang ia tempuh.

Dan dengan pemahaman itu, Tami menemukan makna baru dalam lompatan-lompatannya—makna yang lebih dalam daripada sorak-sorai dan tepuk tangan. Ia telah menemukan kebebasan sejati dalam mengikuti panggilan hatinya, dan dalam proses itu, ia menjadi bagian dari jalinan kehidupan yang lebih besar daripada dirinya sendiri.[]