Dongeng oleh Agung Bawantara
Di hutan teduh dan damai yang terletak ditepian sebuah danau, Tikibi si tikus mengajar anak-anak binatang dengan sabar. Tak ada yang meragukan kelembutannya, bahkan ketika harus menghadapi murid yang paling sulit sekalipun, seperti Gero, buaya kecil yang terkenal nakal.
Suatu pagi, Gero membuat ulah besar. Ia mencubit teman-temannya hingga mereka menangis. Tikibi menegurnya dengan lembut, “Gero, kamu harus lebih menghormati teman-temanmu.”
Namun, teguran itu tak diterima dengan baik. Geno pulang dan mengadu kepada ayahnya, Dugal, buaya besar yang sangat disegani di hutan. “Tikibi memukulku,” katanya, sambil memperlihatkan luka kecil di tubuhnya. Luka itu sebenarnya bukan karena Tikibi, tetapi karena Gero terjatuh ketika bermain.
Dugal tidak memeriksa lebih jauh. Ia marah. Tanpa mendengar penjelasan, ia memutuskan untuk menuntut Tikibi. Tikibi, dengan kepala sekolah binatang, datang ke rumah Dugal untuk meminta maaf, berharap masalah bisa selesai dengan damai. Namun, Dugal menuntut lebih—50 potongan daging dan agar Tikibi dikeluarkan dari sekolah.
Tikibi menolak, dan Dugal membawa masalah ini ke pengadilan hutan. Tikibi, tanpa diberi kesempatan bicara, ditahan. Namun, Burung Pengamat, yang selalu mencatat segala yang terjadi di hutan, memberi kesaksian di depan para hakim. Ia berkata, “Tikibi tidak memukul Gero. Luka itu terjadi karena Gero terjatuh sendiri.”
Setelah mendengar kesaksian Burung Pengamat, Tikibi pun dibebaskan. Semua penghuni hutan menghela napas lega. Namun, Dugal tidak luput dari ganjaran. Penghuni hutan memutuskan bahwa selama sebuan Dugal harus membersihkan danau yang menjadi sumber air bagi semua makhluk di hutan itu.
Tak bisa menolak keputusan, setiap hari Dugal terpaksa membersihkan danau. Lumpur dan daun-daun yang jatuh harus ia angkat. Gero pun menyaksikan ayahnya yang gagah kini harus tunduk menjalani hukuman.
Pada hari ketiga, Tikibi datang ke danau. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memungut daun-daun yang berjatuhan dan membantu membersihkan air bersama Dugal. Dugal terdiam, mungkin merasa terkejut atau mungkin terlalu letih untuk menanggapi. Tapi ia tahu siapa Tikibi, dan dalam keheningan itu, terselip kehangatan yang sulit ia ungkapkan.
Melihat itu, satu persatu, binatang-binatang lain turut bergabung. Rusa, Kelinci, bahkan Burung Pengamat. Mereka bekerja bersama di danau tanpa banyak bicara, seakan tahu bahwa saat-saat itu lebih dari sekadar membersihkan air. Gendro, dari kejauhan, menyaksikan semuanya.
Ketika hari semakin larut, Gendro mendekati Tikibi. Suaranya lirih, hampir tenggelam dalam udara sore yang sejuk. “Maafkan aku,” katanya, “aku telah berbohong dan membuatmu menderita. Aku juga membuat ayahku dihukum.”
Tikibi tidak mengucapkan kata-kata yang besar. Ia hanya tersenyum, menepuk kepala Gendro dengan lembut, seolah apa yang terjadi sudah berlalu dan yang tersisa hanyalah kelegaan. Lalu, Gendro berdiri, merasa sedikit lebih ringan dari sebelumnya.[]