Dongeng Agung Bawantara
Di suatu pagi yang cerah, di sebuah hutan yang tenang, seekor kupu-kupu kecil bernama Cempa duduk termenung di balik daun lebar. Sayapnya yang cokelat muda dengan sedikit bintik kuning, kini sobek di beberapa bagian. Dahulu, sayap itu mengantarnya melayang bebas di atas pepohonan. Kini, ia hanya mengintip dari celah dedaunan, takut melangkah keluar.
Hari itu sebenarnya tak jauh berbeda dari pagi-pagi lain di hutan, tetapi bagi Cempa, semuanya terasa berbeda sejak pertemuannya dengan gagak. Burung hitam itu menukik cepat dan mencengkeram Cempa dalam cakarnya. Cempa meronta, mengepakkan sayapnya yang kecil dan rapuh, hingga akhirnya ia lolos, tapi sayapnya terluka parah. Sejak hari itu, ia merasa tak pantas lagi untuk terbang. Baginya, dunia langit sudah tertutup, dan kebebasan hanya mimpi.
Saat itulah seekor kumbang tua bernama Kerta merangkak mendekat. Kerta, dengan badan bulatnya yang keras dan mata kecil yang penuh kehangatan, menghampiri Cempa, menyapanya dengan lembut.
“Cempa, kau kenapa di sini terus? Kenapa tak mencoba terbang lagi?” tanyanya penuh perhatian.
Cempa hanya menunduk, menatap sayapnya yang robek. “Aku sudah tak bisa terbang, Kerta. Sayapku tak seperti dulu lagi. Aku tak ingin dunia melihatku dalam keadaan ini.”
Kerta tersenyum lembut, pandangannya penuh bijaksana. “Cempa, apakah kau tahu? Luka di sayapmu itu bukan tanda kelemahan. Luka itu adalah tanda keberanian. Itu artinya kau sudah menghadapi badai besar, dan kau berhasil selamat.” Kerta meraih tangan kecil Cempa dan menambahnya, “Setiap serat sayap yang sobek menunjukkan bahwa kau telah melawan. Dan kau masih di sini, itu tanda kekuatanmu.”
Mendengar kata-kata Kerta, Cempa merasa sedikit hangat, tapi bayangan tentang dirinya yang tak lagi sempurna tetap menggelayut di pikirannya. Ia ragu apakah ia benar-benar bisa terbang seperti dulu. Meski begitu, sesuatu dalam hatinya mulai bergerak pelan-pelan, seolah ada keberanian kecil yang tumbuh dari dalam.
Keesokan harinya, Kerta mengajak Cempa keluar dari balik dedaunan dan mengajaknya untuk mencoba mengepakkan sayap lagi. Cempa mencoba dengan hati-hati, menggerakkan sayapnya yang terasa berat. Angin kecil berhembus, mendorong tubuhnya, dan membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh dan kembali bersembunyi, merasa malu.
Kerta, yang melihatnya dari dekat, hanya tersenyum dan mendekati Cempa lagi. “Cempa, kau tahu? Sayap bukanlah satu-satunya yang membuatmu bisa terbang tinggi. Keinginanmu, keberanianmu, itulah yang membawa keindahanmu ke udara. Tak perlu sempurna untuk bisa melayang. Yang penting kau tetap mencoba. Dunia ini masih ingin melihatmu terbang, apa pun bentuk sayapmu.”
Namun, Cempa masih menunduk ragu. “Aku rasa sudah tak ada lagi yang peduli. Dunia sudah mencampakkanku…”
Kerta menggeleng dan tersenyum, kali ini lebih lembut, “Kalaupun tak ada lagi yang memperhatikanmu, kau tetap memiliki hak untuk melihat dirimu terbang bebas, Cempa. Kau punya hak untuk menikmati kebahagiaan yang disediakan oleh kehidupan, untuk merasakan angin di sayapmu dan sinar matahari yang hangat. Terbanglah, bukan untuk siapa pun, tapi untuk dirimu sendiri. Dunia ini luas dan banya keindahan masih menantimu.”
Kata-kata Kerta seperti embun segar di hati Cempa. Ia menarik napas panjang, dan untuk pertama kalinya, ia merasa kuat. Ia menatap Kerta, tersenyum kecil, lalu perlahan mengepakkan sayapnya yang tak lagi utuh. Angin menghantam tubuhnya, ranting-ranting menyenggolnya, tapi ia terus mencoba, terbang rendah, dan menemukan keseimbangannya lagi.
Ia terbang rendah, mencoba menyeimbangkan sayapnya yang tidak sempurna. Angin menghantamnya, ranting-ranting tipis terkadang melukai tubuhnya. Namun setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia teringat pada kata-kata Kerta, bahwa keberanianlah yang mengantarnya ke udara.
Dan akhirnya, setelah berhari-hari mencoba, Cempa melayang lebih tinggi dari sebelumnya. Ia terbang bebas di langit hutan, merasakan hembusan angin yang lembut di sayapnya yang terluka. Ia bukan lagi kupu-kupu kecil yang malu dan takut. Kini ia adalah Cempa, kupu-kupu yang terbang dengan bangga, meski sayapnya tak sempurna.
Di atas langit hutan itu, Cempa tahu bahwa nilai dirinya bukan pada kesempurnaan sayapnya, tapi pada hatinya yang tak pernah berhenti mencoba. Keindahannya bukan terletak pada bintik kuning di sayapnya, melainkan pada keberaniannya untuk terus terbang, meski pernah terkoyak.[]