Ranu, Pungguk yang Menjadi Bulan


Dongeng Agung Bawantara


Di suatu tempat di pinggiran hutan, hiduplah seekor burung pungguk bernama Ranu. Ia hanyalah burung kecil yang tak memiliki keistimewaan apa pun, kecuali satu hal: mimpinya yang tak masuk akal untuk mencapai bulan. Setiap malam, ia menatap bulan yang bersinar terang, berharap suatu hari ia bisa menyentuh cahaya keemasan itu dengan sayapnya yang lemah.


Ranu lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, yang dulu adalah burung paling gagah di hutan itu, kini hanya bisa terkulai di sarangnya. Ia terjatuh dari langit ketika mencoba melawan angin kencang yang tak bisa ditaklukkannya. Sejak saat itu, ayahnya selalu berkata, "Anakku, tak semua mimpi harus dikejar. Kadang, kita hanya perlu menerima kenyataan."


Namun, Ranu bukan burung yang mudah menyerah. Setiap kali mendengar kata-kata itu, semangatnya justru semakin membara. "Aku akan membuktikan bahwa aku bisa terbang lebih tinggi dari yang lain!" gumamnya dalam hati. Ia melatih sayapnya setiap malam, terbang lebih tinggi, menantang angin, dan tak jarang terjatuh hingga bulu-bulunya kotor penuh luka.


Malam demi malam, ia mencoba, tetapi bulan tetap saja jauh di atas sana. Tubuhnya lelah, sayapnya hampir patah, namun hatinya terus menyala. “Aku hanya ingin keluargaku bangga. Aku ingin menunjukkan kepada ayah bahwa mimpi tak perlu ditinggalkan hanya karena sulit,” bisiknya kepada dirinya sendiri.


Suatu malam, ketika ia hampir menyerah, seekor burung hantu tua datang dan berkata, “Apa yang kau lakukan di sini, Ranu? Mengapa kau menyiksa dirimu sendiri seperti ini?” 


Ranu menunduk sedih. “Aku ingin mencapai bulan, Paman,” jawab Ranu dengan suara lemah. “Aku ingin membuktikan pada semua orang bahwa aku bisa terbang setinggi itu.”


Burung hantu itu tersenyum. “Kau tahu, Ranu, dalam hidup, kita semua punya bulan yang ingin kita capai. Tapi kau harus ingat satu hal: ‘Perjalananmu adalah hadiah itu sendiri. Jangan tunggu sampai bulan ada di genggamanmu baru kau merasa berharga.’”


Ranu terdiam. Kata-kata burung hantu itu masuk perlahan ke dalam hatinya. Mungkin benar, mimpinya untuk mencapai bulan memang penting, tapi perjalanan yang ia lalui, usaha dan kegigihannya, itu adalah nilai yang sebenarnya. “Aku tak perlu mencapai bulan untuk menjadi besar. Aku hanya perlu terus terbang, terus berusaha, dan menjadi lebih baik setiap harinya.”


Keesokan malamnya, dengan semangat yang baru, Ranu mulai terbang. Bukan ke atas menuju bulan, tetapi di antara pohon-pohon, membawa cahaya kecil di hatinya untuk menerangi kegelapan hutan. Setiap malam, ia menyapa burung-burung lain, menghibur mereka yang merasa kesepian dengan dongeng-dongeng menarik atau kisah-kisah jenaka. Dengan begitu, tanpa sengaja Ranu membawa harapan baru bagi mereka yang sedang merasa terpuruk.


Lambat laun, berita tentang Ranu yang membawa 'cahaya kecil' itu tersebar ke seluruh penjuru hutan. Burung-burung mulai berkumpul di sekitarnya, mengagumi kegigihan dan cerita-ceritanya. Mereka tidak lagi melihatnya sebagai pungguk yang merindukan bulan, tetapi sebagai pungguk yang menerangi hati mereka dengan dongeng-dongeng segar yang menyentuh hati.


Suatu malam, ketika bulan bersinar lebih terang dari biasanya, burung-burung itu berkerumun di sekeliling Ranu mendengarkan kisah tentang ulat kecil yang berjuang menjadi kupu-kupu. Begitu Ranu mengakhiri ceritanya, salah satu dari burung-burung itu berkata, “Engkau adalah bulan kami, Ranu. Engkau menerangi hutan ini dengan semangatmu.”


Mendengar itu, Ranu tersenyum lebar dan mengangguk hormat pada semua burung yang mengitarinya.[]