Dongeng Agung Bawantara
Di sebuah hutan yang rimbun, hiduplah seekor burung pipit bernama Aruna. Ia dikenal oleh hewan-hewan lain sebagai burung yang angkuh dan suka menyalahkan makhluk lain atas kesulitannya. Setiap kali ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencana, Aruna selalu mencari siapa yang bisa disalahkan.
Suatu hari, angin kencang bertiup dan membuat sarangnya jatuh dari dahan. Aruna sangat marah. "Ini semua salah angin! Mengapa ia harus bertiup begitu kencang?" gerutunya, penuh amarah. Sepanjang hari ia terus mengomel, menyalahkan angin dan merasa nasibnya selalu sial.
Musim berganti, dan datanglah saat bagi burung-burung untuk mengumpulkan biji-bijian. Namun Aruna, yang masih terjebak dalam rasa kesal terhadap angin, terlambat memulai. Saat ia akhirnya turun ke tanah untuk mencari makanan, biji-bijian sudah banyak yang habis. Burung-burung lain dan hewan-hewan lain telah lebih dahulu mengumpulkannya. Aruna kembali marah. Kali ini, ia menyalahkan tikus yang dianggapnya terlalu rakus.
“Mereka mengambil semuanya! Aku tak punya cukup untuk diriku sendiri,” katanya. Hari-hari berlalu, dan Aruna semakin frustrasi. Ketika perutnya mulai kosong, ia tak berhenti menyalahkan makhluk lain—tikus, burung-burung lain, bahkan cuaca. Semua disalahkannya, seolah-olah hidupnya selalu diganggu oleh orang lain.
Suatu sore, ketika perutnya sangat lapar dan ia tampak lesu, Aruna bertemu dengan burung hantu tua bernama Batara. Burung hantu itu dikenal sebagai makhluk paling bijak di hutan. Batara melihat Aruna yang tampak murung, lalu bertanya, "Mengapa kau terlihat sangat kelelahan, Aruna?"
Aruna pun menceritakan segala kesulitannya, dan dengan nada marah ia menyalahkan semua makhluk di hutan atas nasib buruknya. Batara mendengarkan dengan tenang, dan setelah Aruna selesai berbicara, ia berkata dengan lembut, "Aruna, sebanyak apapun kau menyalahkan angin, tikus, dan makhluk lain, apakah itu membuat perutmu kenyang?"
Aruna terdiam. Ia memikirkan pertanyaan itu dalam-dalam, lalu menjawab pelan, "Tidak."
"Lalu mengapa kau terus melakukannya?" Batara menatapnya dengan lembut. "Kesalahan dan rintangan akan selalu ada. Tapi menyalahkan orang lain tidak akan mengubah keadaanmu. Satu-satunya yang bisa mengubah hidupmu adalah dirimu sendiri."
Kata-kata Batara menggema dalam hati Aruna. Ia menyadari bahwa semua waktu yang ia habiskan untuk menyalahkan makhluk lain hanyalah sia-sia. Tidak ada yang berubah karena kemarahan dan dendamnya, malah hidupnya semakin sulit karena ia tidak pernah berusaha memperbaiki keadaannya sendiri.
Keesokan harinya, Aruna memutuskan untuk berubah. Ia bangun lebih pagi, mulai bekerja keras membangun sarang baru yang lebih kuat, dan memulai hari lebih awal untuk mengumpulkan makanan. Tidak ada lagi yang ia salahkan, bahkan ketika angin bertiup kencang, ia hanya memperkuat sarangnya tanpa mengeluh.
Dalam waktu singkat, kehidupan Aruna berubah. Sarangnya kokoh, makanannya cukup, dan ia menjadi burung yang lebih mandiri. Hewan-hewan lain mulai memandangnya dengan kagum. Aruna belajar bahwa sebesar apapun ia menyalahkan keadaan, tidak akan ada yang berubah kecuali ia sendiri yang mengambil tindakan.
Kini, setiap kali angin bertiup, Aruna hanya tersenyum pada dirinya sendiri dan berbisik pelan, "Aku yang bertanggung jawab atas hidupku."[]