Dongeng karya Agung Bawantara
Di puncak gunung yang sering diselimuti awan, hiduplah seekor elang muda bernama Arga. Ia dikenal sebagai yang tercepat di antara semua elang di hutan. Setiap perlombaan terbang, Arga selalu menang. Ia melesat di udara dengan percaya diri, membuat semua elang lain terkagum-kagum. Tak ada yang pernah mengalahkannya, dan itu membuat Arga semakin yakin bahwa dirinya tak terkalahkan.
Suatu pagi, saat Arga sedang beristirahat di tepi jurang, ia melihat seekor elang tua terbang rendah di atas lembah. Sayapnya tidak lagi sekuat dulu, tapi kepaknya tetap anggun. Setiap hari, elang tua itu terbang di sekitar gunung, seolah berlatih. Arga tak pernah memperhatikannya sebelumnya, tetapi kali ini, rasa ingin tahunya terusik.
Ia pun mendekatinya. Arga tahu Elang tua itu mantan juara. Di masa mudanya, ia sering memenangi dalam lomba terbang di antara elang-elang lain. Namun sekarang, ia hanya terbang untuk menjaga agar otot-ototnya tidak kaku. Usianya sudah tak muda lagi, tapi sayapnya masih mampu melayang dengan tenang di udara.
“Hei, ku dengar kau dulu juara,” sapa Arga.
Elang tua itu menoleh lalu mengangguk pelan. “Iya, dulu. Dan, itu sudah lama sekali.”
“Katanya, kau selalu juara di masamu,” lanjut Arga. “Bagaimana kalau kita berlomba? Aku ingin lihat seberapa hebat kau dulu.”
Elang tua itu memandang Arga sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku sudah pensiun dari perlombaan,” ujarnya. “Sekarang aku hanya terbang untuk melatih diriku sendiri.”
“Apa salahnya mencoba lagi? Sekali ini saja,” desak Arga. “Aku akan buktikan bahwa aku yang tercepat di sini.”
Elang tua tetap menolak, tapi karena Arga begitu gencar mendesaknya, akhirya Elang tua itu setuju, meski ia tidak tampak tertarik untuk menang. “Baiklah, tapi jangan terlalu berharap,” ujarnya sambil mengepakkan sayapnya.
Perlombaan dimulai. Arga melesat cepat, seperti yang biasa ia lakukan. Ia memimpin jauh di depan. Angin menyapu tubuhnya, membuatnya meluncur dengan mulus di antara awan. Namun, semakin jauh ia terbang, sayapnya mulai terasa berat. Otot-ototnya menegang, napasnya tersengal-sengal. Arga belum pernah merasakan lelah seperti ini.
Sementara itu, elang tua terbang dengan tenang di belakang. Ia tidak cepat, tapi setiap gerakannya seolah menghitung angin. Sayapnya mengepak perlahan, namun stabil. Perlahan tapi pasti, elang tua itu mendekati Arga yang mulai kehabisan tenaga.
Ketika tujuan hampir tercapai, Arga merasa sayapnya tak lagi kuat mengepak. Elang tua melintas di sebelahnya, terbang dengan kepakan sayap yang masih tetap sama—tenang dan tak terburu-buru. Tanpa banyak bicara, elang tua itu mendarat lebih dulu, sementara Arga terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah.
“Elang tua, bagaimana kau bisa menang?” Arga bertanya dengan suara lelah, tak percaya bahwa ia kalah.
Elang tua tersenyum. “Aku sudah terbang lebih lama darimu, Arga. Bukan soal seberapa cepat kau terbang, tapi seberapa bijak kau mengenal angin dan dirimu sendiri.”
Arga tidak menjawab. Matanya memandang ke langit, lalu ke sayapnya yang lelah. Ia mengerti bahwa kemenangan bukan sekadar soal kecepatan. Tapi ia tak berkata apa-apa.[]