Dongeng Agung Bawantara
Di tengah hutan Timur, hiduplah seekor gajah bernama Guri.
Guri terkenal di antara hewan-hewan lain karena kekuatannya yang luar biasa.
Setiap hari, ia membantu hewan-hewan lain, mengangkat batang pohon yang roboh,
memindahkan batu besar, dan melindungi hutan dari ancaman binatang buas. Semua
hewan menghormati Guri. Tetapi ia tahu
bahwa penghormatan itu hanya karena kekuatannya. Guri bangga, tetapi jauh di
lubuk hatinya, ia merasa ada sesuatu yang hilang.
Suatu hari, kabar tentang seekor singa tua bernama Sang Mong menyebar di hutan.
Sang Mong tinggal jauh di ujung hutan dan dikenal bukan hanya karena
kekuatannya, tetapi karena kebijaksanaannya yang mendalam. Banyak hewan yang
mengatakan bahwa siapa pun yang mendengarkan nasihat Sang Mong akan mendapatkan
kebijaksanaan yang tak ternilai. Guri penasaran, tetapi juga meremehkan.
"Apa gunanya kebijaksanaan jika aku sudah kuat?" pikirnya.
"Kekuatan fisik sudah cukup bagiku."
Namun, rasa penasaran terus mengusik pikiran Guri. Suatu hari, seekor burung
hantu bijak bernama Maya menghampirinya. "Kau boleh kuat, Guri, tetapi
kekuatan bukanlah segalanya," kata Maya. "Kebijaksanaan lebih dari
sekadar menguasai fisik; itu tentang menguasai diri sendiri."
Guri tetap merasa ragu. "Mengapa aku perlu kebijaksanaan? Aku sudah lebih
dari cukup dengan kekuatan yang aku miliki," jawabnya. Namun, kata-kata
Maya terus terngiang di pikirannya, dan akhirnya Guri memutuskan untuk
melakukan perjalanan menemui Sang Mong.
Di sepanjang perjalanan, Guri menghadapi banyak tantangan. Salah satunya,
seekor harimau muda bernama Raka menghadangnya. “Kau gajah kuat yang mereka
bicarakan, ya? Ayo, kita bertarung, lihat seberapa kuat kau!” tantang Raka.
Mata harimau itu menyala penuh semangat. Guri, yang terbiasa menghadapi
tantangan seperti ini, merasakan darahnya mendidih. Amarah mulai membara di
dadanya, dan dia hampir menerima tantangan itu.
Namun, tiba-tiba, Maya yang terbang di atasnya berbisik, "Ingat,
perjalananmu bukan untuk membuktikan kekuatan kepada orang lain." Guri
menarik napas panjang dan, dengan usaha besar, menahan diri. Ia menolak
bertarung dan melanjutkan perjalanannya, meskipun di dalam hatinya, amarah
masih berkecamuk. Itu adalah pertama kalinya Guri menolak tantangan. Ia merasa
gelisah, namun juga sedikit lega, meski belum sepenuhnya paham mengapa.
Perjalanan semakin berat ketika ia bertemu dengan kawanan monyet yang suka
bermain-main. Mereka terus-menerus mengganggunya, menarik ekornya, melempari
Guri dengan buah busuk, sambil tertawa keras. Guri, yang biasanya sabar,
akhirnya tak tahan lagi. Dengan satu gerakan, ia merobohkan pohon besar di
dekatnya, membuat para monyet lari ketakutan. Namun, setelah itu, Guri merasa
hampa. Kekuatan yang ia gunakan tak membawa kedamaian, hanya amarah yang
sementara. "Apa gunanya semua ini?" gumamnya dengan frustrasi.
Akhirnya, Guri tiba di tempat tinggal Sang Mong. Gajah besar itu berdiri di
hadapan singa tua yang duduk tenang di atas batu besar. "Aku datang untuk
belajar kebijaksanaan," kata Guri, masih dengan keraguan di suaranya. Sang
Mong memandang Guri dengan tatapan penuh pemahaman. "Kau sudah menempuh
perjalanan yang panjang, tetapi kebijaksanaan yang kau cari tidak ada di sini,
di ujung hutan, atau di luar sana," kata Sang Mong sambil menunjuk ke arah
hutan. "Kebijaksanaan itu ada di dalam dirimu sendiri."
Guri bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya. "Aku bisa mengalahkan
siapa pun yang menghalangiku. Mengapa kau mengatakan bahwa aku belum menguasai
diri?"
Sang Mong tersenyum tipis. "Kau telah menaklukkan banyak tantangan di luar
dirimu, tetapi pertanyaan sebenarnya adalah: bisakah kau menaklukkan dirimu
sendiri? Menguasai orang lain memang membutuhkan kekuatan, tetapi kekuatan
sejati datang dari menguasai dirimu sendiri—emosi, hasrat, dan
ketakutanmu."
Guri terdiam, merasa tak puas dengan jawaban itu. Ia menolak untuk segera
menerimanya. "Aku tak mengerti. Kekuatan fisiklah yang membuatku
dihormati. Apa gunanya mengendalikan emosi jika aku bisa menggunakan kekuatan untuk
menyelesaikan masalah?"
Malam itu, Guri tidak bisa tidur. Kata-kata Sang Mong terus berputar di
benaknya. Ia mulai teringat kembali kejadian-kejadian dalam perjalanannya:
tantangan dari harimau yang memancing amarahnya, kawanan monyet yang mengusik
ketenangannya, dan bagaimana kekuatan yang ia gunakan selalu meninggalkan
kehampaan dalam dirinya. Ia mulai menyadari bahwa setiap kali ia menggunakan
kekuatan fisiknya, ia merasa kuat sesaat, tetapi setelah itu muncul perasaan
hampa dan lelah.
Pada pagi hari, ketika matahari terbit, Sang Mong kembali berbicara padanya.
"Apa yang kau rasakan setelah menggunakan kekuatanmu, Guri? Apakah itu
memberikanmu kedamaian?" tanya Sang Mong lembut. Guri terdiam cukup lama
sebelum menjawab, "Tidak. Aku selalu merasa ada yang kurang, meski aku
berhasil mengalahkan lawanku."
"Karena kekuatan yang kau kejar hanya memberikan kemenangan
sementara," ujar Sang Mong. "Kebijaksanaan adalah menemukan kekuatan
yang tak terbatas—yang ada di dalam dirimu. Ketika kau bisa menguasai dirimu,
kau akan menemukan kekuatan sejati yang tidak bisa dikalahkan oleh siapa
pun."
Saat itulah, perlahan-lahan, Guri mulai mengerti. Perasaan hampa dan gelisah
setelah menggunakan kekuatan fisiknya selama ini bukan karena kurangnya lawan
yang kuat, melainkan karena ia belum mampu mengendalikan dirinya sendiri.
Selama ini, ia berpikir kekuatan ada di luar dirinya, pada otot dan pengaruhnya
terhadap hewan lain. Namun, ia mulai menyadari bahwa kekuatan sejati adalah
kekuatan untuk menguasai diri sendiri—menahan amarah, kesombongan, dan hasrat
untuk selalu menang.
Dengan pemahaman baru itu, Guri kembali ke rumah. Di sepanjang perjalanan,
ketika ia bertemu kembali dengan harimau Raka, yang sekali lagi menantangnya,
Guri hanya tersenyum. Kali ini, tidak ada amarah yang muncul di hatinya.
"Aku tidak perlu membuktikan apa-apa," kata Guri dengan tenang, dan
ia melanjutkan perjalanannya.
Setibanya di hutan tempat ia tinggal, hewan-hewan yang dulu takut pada
kekuatannya kini melihat perubahan dalam diri Guri. Ia tidak lagi hanya
dihormati karena kekuatannya, tetapi juga karena kebijaksanaannya. Guri tidak
lagi merasa hampa setiap kali menghadapi tantangan, karena ia telah menemukan
kekuatan terbesar—kekuatan untuk menguasai dirinya sendiri.