Di sebuah hutan di suatu masa, hiduplah seekor tupai kecil bernama Karu. Karu tinggal bersama keluarganya di sarang sederhana di atas pohon. Kehidupan mereka penuh dengan tantangan. Ayahnya seekor tupai tua bekerja mencari kacang-kacangan setiap hari. Tetapi semakin hari, makanan di hutan semakin sulit ditemukan. Ibunya sakit dan tak bisa lagi membantu mengumpulkan makanan, sehingga beban keluarga semakin besar. Dalam kondisi sulit ini, Karu sering kali harus memilih antara mencari makanan untuk keluarganya atau pergi ke “Sekolah Hutan” untuk belajar hal-hal baru yang akan membantunya bertahan hidup di masa depan.
Meskipun hidupnya penuh kesulitan, Karu tetap bersemangat pergi ke sekolah. Dia tahu bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kesulitan yang melilit hidupnya. Namun, suatu hari, keadaan semakin buruk. Ayahnya jatuh sakit, tak lagi bisa berlari mencari makanan. Sekarang, semua tanggung jawab ada di pundak Karu. Setelah sekolah, dia harus berkeliling hutan mencari kacang dan biji-bijian. Tubuhnya lelah, dan setiap malam dia merenung, apakah ia harus terus bersekolah atau fokus membantu keluarganya bertahan hidup.
Suatu hari, Karu berdiri di tepi tebing hutan, angin dingin berhembus kencang. Tubuhnya lelah dan pikirannya kalut. Ada saat-saat di mana dia merasa seperti tak ada jalan keluar. Dia melihat ke dalam hutan yang gelap, di mana tantangan lebih besar menanti. "Apakah aku harus menyerah?" gumamnya pada diri sendiri.
Namun, di tengah kesulitan itu, Karu ingat nasihat Burung Hantu, gurunya di Sekolah Hutan. "Bukan kebahagiaan yang menjadikan kita bersyukur, Karu, tapi bersyukurlah yang membuat kita Bahagia," ujar Burung Hantu waktu itu.
Karu menarik napas dalam-dalam. Ia membuka buku hariannya dan menuliskan pengalaman tersulit yang pernah ia alami. Saat itu, tubuhnya lelah, tapi hatinya tetap penuh semangat untuk mendapat makanan. Angin bertiup kencang, Karu tetap melangkah ke muka. Bahkan ketika daun-daun berputar dan ranting-ranting pohon patah akibat hempasan badai, Karu pun tetap menerobosnya.
Namun ketika di sebuah kelokan hutan seekor rubah besar hendak menerkamnya, ia benar-benar tak berdaya. Selain tubuhnya sudah lelah, ia tak melihat sedikitpun celah untuk menghindar dan menyelamatkan diri. Beruntung pada saat yang sangat kritis itu burung gagak yang pernah ia tolong menyambar dan menerbangkannya ke dahan yang aman.
Setelah menuliskan pengalaman itu, Karu pun kembali bersemangat menuju hutan untuk mencari makanan. Meski situasinya masih berat, ada banyak hal yang bisa ia syukuri. Meski ayahnya sakit, mereka masih bersama. Meski perut sering kosong, ia masih bisa belajar di Sekolah Hutan. Semua itu membuatnya merasa kuat dan langkahnya terasa ringan. []