Tentang Ibu dan Kisah Putu Pacul

Oleh: Agung Bawantara

Suara lantang itu melesak ke telinga dan menggetarkan hati saya hingga bermenit-menit lamanya.  Suara yang keluar dari mulut seorang pemuda berperawakan tinggi kurus dan berambut gimbal itu begitu menyentuh. Sajak yang diucapkan dan gaya penyampaiannya begitu memikat.  Sebagian sajak tersebut berbunyi begini: “Ibu adalah burung kembara tawanan masa depan. Sejauh apa pun melanglang, dia akan segera pulang ke sarang. Lebih awal dari yang lainnya. Karena harus menghangatkan sarang,lalu mengerami dan menetaskan masa depan!”

Putu Pacul, begitu panggilan si pemuda bersuara menawan itu. Ia membacakan sajak itu pada peringatan hari Ibu sekitar dua puluh tahun lalu di sebuah kantong kesenian di Kota Mataram, Lombok. Putu Pacul bukan pembaca sajak. Juga bukan penyair. Ia mahasiswa pemabuk yang kebetulan lewat dan menyaksikan para penyair kenalannya sedang membacakan sajak puja-puji bagi para Ibu. Tak ada yang menyana Putu Pacul tiba-tiba melanggar protokoler.  Ia maju dan berdiri di atas mimbar. Matanya  sayu dan geraknya gontai. Racun alkohol membuatnya begitu. Di podium, ia mematung beberapa saat sebelum dengan tenang menebar pandang ke arah para penyair di depannya. Entah kenapa seketika belasan penggiat kata-kata itu hilang kata olehnya. Semua seperti tersihir. Dan, saya terselip di antara mereka yang tersihir itu.  Lalu, sekitar tiga detik setelah suasana hening itu, Putu Pacul membacakan bait-bait sajaknya yang entah ia dapatkan dari mana.

Seusai membaca, Putu Pacul tak mau begitu saja melepaskan pesonanya. Seperti seorang Juru Kampanye, ia memulai orasinya tentang Ibu. Karena yang ia ucapkan kisah-kisah nyata, orasinya itu pun tak kalah memikat dibanding sajak yang ia bacakan sebelumnya. Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana Putu memaparkan beberapa kasus dengan kalimat sederhana yang menyentuh. 

Meski terpesona, saya tak mau ikut larut dalam sihir si Putu Pacul. Benak saya sibuk sendiri membongkar ingatan tentang berbagai peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan sosok ibu. Meski begitu, ucapan-ucapan Putu Pacul beberapa kali membetot saya agar tak asyik masyuk pada ingatan mengenai satu peristiwa tertentu. Saya pun beralih untuk membongkar ingatan lainnya.

Ada beberapa sosok ibu yang saya kenang malam itu. Tentu sosok ibu bijaklah mula-mula. Sosok ini saya duga paling melekat di benak kebanyakan orang karena paling mereka idam-idamkan.  Tapi karena sudah ribuan tulisan mebahas soal itu, maka saya tak hendak memperpanjangnya di sini.

Saya meloncat saja pada sosok ibu yang lain. Pertama, sosok ibu yang tak peduli dengan apa pun yang seharusnya ia pedulikan. Ia hanya senang mengerjakan apa yang membuat hatinya senang. Di  luar itu, semuanya ia abaikan. Kalau pun terpaksa ia kerjakan, ia lakukan hal itu dengan sejuta umpatan. Baik yang diucapkan langsung dengan mulut maupun yang dinyatakan dengan raut muka dan gerakan tubuh.

Kedua, sosok ibu yang serba ingin menguasai. Seluruh hubungan, kecuali yang membuatnya happy, dipandangnya sebagai semacam transaksi utang-piutang. Aturan main transaksi itu pun ditentukan sepihak olehnya dan berlaku mutlak: semua kebaikan ibu adalah utang yang harus dibayar oleh anak. Jika tidak demikian, maka durhakalah si anak. Alamat bagi anak macam ini kehidupan pada kehidupan berikutnya sangat jelas: neraka!

Ketiga, sosok ibu yang lemah yang membiarkan semua hal terjadi di depan matanya. Entah hal-hal yang baik maupun yang sebaliknya. Dalam pandangan orang-orang yang tak begitu mengenalnya, ibu macam ini kerap terlihat sebagai seorang ibu yang baik dan penuh pengertian. Bahkan terasa sebagai seorang ibu penyabar yang lemah-lembut.

Keempat, sosok ibu yang lembam. Ibu nodel ini macam hasil persilangan antara kura-kura dan karet ketapel. Geraknya pelan. Reaksinya lamban. Tak banyak bisa diharapkan dari ibu macam ini selain penggenap posisi agar struktur keluarga inti  lengkap dalam Kartu Keluarga.

Sisi baik dari semua sosok ibu di atas, terangkum dalam sosok ibu yang bijak dan mulia. Ibu yang tindakannya selalu tepat tempat dan tepat saat.

Terhadap sisi buruk para Ibu, beberapa bijak mengatakan bahwa kita boleh meminta Semesta agar “mendidik” ibu kita menjadi sosok yang lebih baik untuk kebahagiaannya sendiri.  Di luar itu, apa pun jenis sosok ibu kita, ada satu hal yang tak bisa  kita tolak darinya, yaitu bahwa dialah tempat di mana benih kehidupan disemaikan.  Pada dirinyalah sarang di mana cikal-bakal diri kita jadi dan "menetas". Dan, ini adalah utang yang tak mungkin dibayar dengan apa pun.

Ketika sampai pada soal ini, saya terbetot lagi  oleh pesona Putu Pacul. Dan, yang tak pernah bisa saya lupakan, malam itu, setelah bediskusi meladeni para penyair hingga dini hari, Putu Pacul sempat tergeletak tepar diringkus alkohol. Tapi, pukul empat dini hari, Putu Pacul bangun. Dalam keadaan sempoyongan ia menuju tempat parkir, menghidupkan mesin motornya, dan melaju pulang. Sebelum tancap gas saya sempat mencegahnya, meminta dia meneruskan tidur untuk keselamatan dirinya.  Putu Pacul menolak. “Saya harus mengantarkan kue-kue dan nasi bungkus kepada langganan ibu saya. Kalau saya telat, kacau. Ibu saya akan malu. Anak yang mempermalukan ibunya adalah anak durhaka,” ucapnya. Bau alkohol mengambang di udara bercampur asap knalpot saat lelaki kurus berambut gimbal itu tancap gas meninggalkan saya yang berdiri termangu.

Denpasar, 4 Desember 2010

Post a Comment

Previous Post Next Post