Ngurah Rai, Mata Uang, dan Daulat Diri

Oleh: Agung Bawantara

 

There is no free lunch, demikian kata pepatah Barat. Memang, tak ada yang cuma-cuma di alam semesta ini.  Setiap suap makanan yang kita telan ada harganya. Setiap tetes air yang kita teguk ada nilainya. Pokoknya, semua kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan yang kita reguk ada bandrolnya. Semuanya harus kita bayar dengan “mata uang” dalam bentuk apa pun.

Ketika  I Gusti Ngurah Rai memimpin rakyat Bali merebut kemerdekaannya dari tangan Belanda, ia harus membayarnya dengan “mata uang” yang sangat tinggi nilainya: nyawa! Di Margarana, 20 November 1946, Kolonel kharismatik asal Desa Carangsari,

Tabanan, itu menuntaskan pembayaran atas apa yang ia idam-idamkan dengan menutup riwayatnya sendiri. Hari itu, dalam sebuah pertempuran sengit Ngurah Rai lampus bersama ratusan anak buahnya demi keinginannya mengibarkan kebebasan di bumi pertiwi yang ia cintai.
 

Kini, lebih dari setangah abad sejak saat kepulangannya ke “Tanah Asal”, Ngurah Rai hadir kembali. Oleh  Republik yang turut ia bebaskan, Sang Komandan kelahiran 9 Januari 1917 itu dihadirkan sebagai penanda salah satu pecahan mata uang. Tentu penempatan wajahnya itu bukan sekadar sebagai ilustrasi Rupiah. Betapa pun, mata uang merupakan salah satu ikon penanda identitas sebuah bangsa. Jadi, pastilah ada pesan penting di balik itu, semisal mendenyarkan semangat pengabdian dan kecintaan pada tanah air.

Kecintaan Ngurah Rai terhadap negeri ini memang luar biasa. Keteguhan komitmennya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia juga tak terbantahkan. Jawabannya yang tegas terhadap tawaran Belanda untuk berunding menunjukkan hal itu. “Soal perundingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin kita di Jawa. Bali bukannya tempat perundingan diplomasi. Dan saya bukan kompromis. Saya atas nama rakyat hanya mengingini lenyapnya Belanda dari pulau Bali atau kami sanggup bertempur sampai cita-cita kami tercapai,” demikian tulisnya kepada Belanda yang membujuknya berdamai dan menggembosi kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta.  Dan, sekali lagi, bayaran dari kekukuhan sikapnya itu tak lain adalah nyawanya sendiri dan nyawa laskarnya.

Kini, kita hanya dapat mengenang dan meneladani jejaknya. Sekaligus mengeraskan keyakinan bahwa tak pernah ada yang cuma-cuma di alam semesta ini. Dan, karena kemerdekaan bukan ujung dari perjuangan, tak ada pilihan lain bagi kita selain selalu bekerja keras untuk membayar setiap kenikmatan yang kita cecap di bumi merdeka ini.

Namun, di tengah karut-marut situasi belakangan ini, selain mengayunkan langkah sebagai bayaran untuk setiap hal yang kita ingini, sepertinya ada baiknya kita bertanya: bagaimana dengan makan siang kita hari ini? Sudahkah bayaran yang kita beri atas semua yang kita telan dan kita teguk itu sepadan dengan harga yang diperuntukkan bagi warga dari sebuah negeri yang merdeka dan berdaulat? Sejalur dengan itu, sudah sungguhkah setiap tetes keringat yang diperah dari tubuh rakyat mendapat imbalan yang sepadan dengan yang seharusnya diterima oleh rakyat di negeri bermartabat? Jika melihat bebas-merdekanya para garong bergentayangan di lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dan secara sisetmatis menguras kekayaan negeri ini melalui penyelewengan biaya-biaya, penilepan hak-hak rakyat, pengemplangan pajak dan kucuran kredit, pembegalan berbagai rupa kekayaan alam, dan beragam bentuk keculasan lainnya, saya pesimis semua itu telah berjalan dengan semestinya. Saya justru menduga bahwa bayaran yang telah diberikan Ngurah Rai dan para patriot lainnya belum cukup untuk membebaskan negeri ini dari cengkeraman penjajah yang terus-menerus berganti rupa.

Lalu, apa yang harus kita lakukan?

Di Margarana, 64 tahun lalu, Ngurah Rai telah menunjukkan kepada kita bagaimana keikhlasannya urun nyawa untuk membebaskan Bali (baca: Indonesia) dari cengkraman keculasan yang terorganisasi saat itu. Mungkin ada baiknya kini kita menyontohnya: menguatkan tekad untuk membayar lunas keinginan kita membebaskan negeri ini dari berbagai bentuk penghisapan. Kita mulai dari diri sendiri, yakni dengan memperjuangkan secara sungguh-sungguh daulat diri dari cengkraman buruk apa pun. Dengan begitu setiap makan siang yang kita nikmati saban hari, kita bayar dengan harga yang sepantasnya. 



*Tulisan ini sempat dimuat di Bali Post  Minggu, 13 Nopember 2010

Post a Comment

Previous Post Next Post