Sembahyang, Sesuatu, dan Insan Semesta Raya

Oleh : Agung Bawantara

Sembahyang pada hakekatnya adalah cara bercakap-cakap.  Bercakap-cakap dengan Sesuatu yang tak tampak, Sesuatu yang memiliki jawaban untuk segala pertanyaan, Sesuatu yang mengabulkan segala permintaan,

Sesuatu yang meruang dan mewaktu, Sesuatu yang menggariskan jalan bagi segala langkah, Sesuatu yang merupakan asal dan tujuan segala mahluk, dan sebagainya, dan seterusnya. Uniknya, meski dilakukan secara kolektif, percakapan dalam sembahyang tetap merupakan percakapan personal antara “Aku” yang berada dalam diri setiap orang dengan Sang Sesuatu itu. Karena meyakini ada vibrasi baik memancar dari setiap “Aku” begitu usai melakukan percakapan, orang-orang pun senang melakukan persembahyangan bersama untuk saling menulari kebaikan.  Soal “baik” dan “kebaikan”, kita bahas lain waktu. Ada jutaan pengertian mengenai kata-kata itu.
Dalam setiap percakapan, ada dua relasi yang mungkin terbangun: inferior-superior atau setara. Relasi pertama menunjukkan salah satu pihak berada pada posisi lebih rendah dari yang lainnya.  Bahasa yang digunakan pun demikian pula. Yang satu memohon, yang lainnya mengabulkan. Yang satu memohon sesuatu, yang lainnya mengabulkan dengan sesuatu (atau bukan sesuatu). Jika posinya di balik, bahasanya akan berubah: yang satu memerintahkan, yang lainnya menjalankan. Jika yang satu memerintahkan sesuatu, yang lainnya pasti akan menjalankan sesuatu (atau bukan sesuatu) yang diperintahkan itu. Sementara dalam relasi yang setara, percakapan akan berada pada kesejajaran. Sebesar apa pun salah satu pihak dan sekecil apa pun pihak yang lainnya, posisi keduanya akan selalu seimbang. Bahasa yang digunakan pun sangat egaliter layaknya antara kawan dengan kawan.

Sejak mengenal adanya Sesuatu yang “enak diajak bercakap dan perlu” untuk setiap persoalan, manusia terus menerus mencari bentuk relasi dan bahasanya. Semakin hari, semakin banyak variasi untuk itu.  Mungkin karena semakin bertambah manusia, semakin bertambah pula bentuk mulutnya. Maka semakin banyak dan semakin riuhlah percakapan (yang kebanyakan hanya sepihak saja) itu. Belakangan,  tercatat ada beberapa orang terpilih. Mereka mendapatkan cara-cara termudah dan terefektif untuk bercakap-cakap dengan Sang Sesuatu itu. Karena terbukti keampuhannya, di belakang mereka kemudian berbaris jutaan orang yang terpanggil untuk mengikuti tata cara tersebut. Mula-mula semuanya serba rileks. Namun, lama-lama semuanya berubah menjadi klise-klise yang dipaksakan. Tak jarang karena merasa cara mereka yang paling mudah dan akrab,  orang-orang di satu barisan memaksa orang-orang di barisan lain agar mengganti cara bercakap-cakapnya dengan bahasa dan cara yang mereka gunakan. Ketegangan pun menyuat. Sementara, pencarian tata cara yang tepat, cepat dan sampai terus di lakukan. 

Tak terlalu pintar untuk bergelut dalam pencarian itu, saya adalah satu dari jutaan orang yang mengikuti salah satu klise soal sembahyang. Saya hanya mengekor saja mengenai apa dan bagaimana cara bercakap-cakap dengan Sang Sesuatu itu. Tak apa. Saya tidak merasa malu untuk itu. Pikir saya, banyak kok orang yang melakukan klise-klise menemukan sesuatu yang luar biasa. Rancangan arsitektur yang paling avant garde sekalipun berangkat dari upaya menyusun bangun-bangun yang klise. Dan, toh ujung dari semua rancangan canggih itu sama saja  dengan rancangan klise: menjadikan orang yang berada di dalam dan di sekitar bangunan tersebut merasa nyaman, aman dan damai.

Mungkin ungkapan di atas seperti mengecilkan arti kreativitas. Tak sedikit pun ada maksud begitu. Yang hendak saya katakan hanyalah bahwa dalam banyak hal kita cukup melakukan sesuatu dengan cara yang sederhana. Yang penting hal itu dilakukan secara rutin, bersungguh-sungguh, dan tulus.  Seorang pilot tak perlu melakukan banyak kreativitas untuk sekadar mengantarkan penumpang pesawatnya terbang dari bandara satu ke bandara lainnya. Mereka cukup mematuhi prosedur standar penerbangan sembari mengasah kepekaan terhadap jarak dan cuaca agar setiap apa pun yang mereka lakukan benar-benar presisi. Tepat tempat dan tepat saat. Karena itulah kesenioran mereka diukur dengan jumlah jam terbang dan tingkat kedisplinan mematuhi standar (yang klise).

Ada begitu banyak cara bercakap-cakap dengan Sang Sesuatu. Lebih banyak lagi ulasan mengenainya. Kita tinggal memilih satu cara dan menjalaninya dengan hati sederhana. Hati yang, menurut istilah Mbah Marijan, tidak sibuk.  Tentang ulasan, silahkan baca  dan dengarkan sebanyak dan sesanggup yang anda bisa. Tapi, saya percaya pengertian yang paling tepat dan benar mengenai cara bercakap-cakap dengan Sang Sesuatu itu akan merebak dengan sendirinya dari laku sederhana yang dijalani serius dan terus-menerus. Dari percakapan sederhana yang rutin itu akan tampak siapa diri kita yang kita namai “Aku” dan siapa Sang Sesuatu yang kita sebut dengan “Kau”.

Seberapa sederhana? Sungguh sederhana. Kita hanya perlu hening. Itu saja. Selebihnya, adalah kelengkapan untuk merayakan pilihan jalan klise kita.

Seberapa rutin? Terserah kita. Tapi, yang terbaik adalah serutin helaan nafas.

Dan, satu hal yang sangat penting, karena percakapan dilakukan dengan Sang Sesuatu yang merupakan asal segala mahluk, maka sembahyang yang sukses adalah ketika dalam percakapan itu kita berhasil menyapa penuh kasih semua insan di semesta raya ini.

Post a Comment

Previous Post Next Post