Setiap
pagi anjing-anjing itu mendapat jatah dua liter susu segar dari Tuan Pemburu.
Lebih siang sedikit, mereka mendapat
jatah makanan padat. Hal serupa terjadi di sore dan petang hari. Oleh si induk,
susu dan makanan itu segera dibagi rata sehingga ketiga anaknya mendapat jatah
yang sama banyak. Dengan cara itu si
induk berharap anak-anaknya selalu senang sehingga pertumbuhannya menjadi baik.
Dengan pertumbuhan yang baik kelak mereka akan menjadi anjing pemburu yang
dapat dibanggakan.
Meski
demikian, ada satu di antara ketiga anjing kecil itu yang tak begitu menikmati
keadaan tersebut. Trigo, si bungsu, tak begitu suka makan. Bukan hanya sekadar
tak suka, ia bahkan sangat malas makan. Apa pun jenis makanan yang diberikan
padanya tidak pernah ia nikmati dengan baik. Kalau bersantap bersama, makanan Trigolah yang paling terakhir habis. Sering,
jika waktunya terbatas karena harus segera mengerjakan suatu hal, jatah Trigo
masih banyak tersisa. Jatah itu biasanya segera dilahap oleh kakak-kakanya agar
tak mubazir.
Karena
paling sulit makan, Trigo pun tumbuh menjadi anjing yang lamban. Gerak-geriknya
tak setangkas kedua saudaranya. Reaksinya terhadap bahaya tidak sespontan
kakak-kakaknya. Ini menyebabkan induk anjing prihatin. Sebagai anjing pemburu, Trigo
seharusnya gesit dan cekatan. Jika tidak, ia bisa mendapat celaka saat
menjalankan tugas.
Suatu
hari saat Trigo tengah makan dengan gerakan yang lamban, Induk Anjing
mendekatinya sembari mengatakan bahwa makanan
yang baik akan membuat otot-otot kuat dan lentur macam batang jambu biji.
“Jadi makanlah dengan baik. Jika
kau makan dengan riang, tubuhmu akan senang,” ucapnya lembut.
“Tubuh yang senang,” imbuh Induk Anjing, “akan
membuat pikiranmu senang. Tubuh dan pikiran yang senang akan membuat kau hebat untuk
mengerjakan apa saja!”
Tapi Trigo tak terlalu mengindahkan nasehat itu.
Tetap saja ia malas bersantap. Sampai suatu saat, ketika para anjing itu tengah
menemani tuannya berburu di sebuah lembah di tepi hutan, tiba-tiba hujan datang.
Begitu lebat seperti ratusan juta galon air yang ditumpahkan secara mendadak
dari langit. Banjir besar pun melanda. Seketika situasi menjadi begitu buruk. Air
menggenang di mana-mana. Tinggi genangannya bahkan hingga sebatas dada orang
dewasa. Barang-barang bawaan hanyut. Perbekalan menyusut. Yang lebih parah,
karena paling lemah, saat hendak berlindung di sebuah gua di lereng tebing yang
agak tinggi, Trigo terpeleset dan nyaris terseret arus. Untunglah kedua
kakaknya sigap menangkap dan menariknya ke atas.
Terjebak di dalam gua selama tiga hari tiga malam, mereka
harus membagi rata sama-sama sedikit persediaan makanan yang masih tersisa. Saat
itu Trigo semakin sadar betapa buruk kebiasaannya malas makan selama ini. Tubuhnya
paling cepat lemas. Dan, di saat begitu, nafsu makannya justru semakin melorot.
Badannya pun jadi semakin lunglai.
Beruntung segera timbul tekad Trigo untuk
mengakhiri kebiasaan buruk tersebut. Sekuat tenaga ia berjuang mengalahkan
dirinya sendiri. Terngiang nasehat induknya bahwa makanan yang
baik akan membuat otot-otot kuat dan lentur macam batang jambu biji.
“Jadi makanlah dengan baik.
Jika kau makan dengan riang, tubuhmu akan senang,” ucap Trigo pada diri sendiri
menirukan wejangan induknya.
“Tubuh yang senang,” imbuh Trigo, juga menirukan
nasehat Sang Induk, “akan membuat
pikiranmu senang. Tubuh dan pikiran yang senang akan membuat kau hebat untuk
mengerjakan apa saja!”
Trigo pun makan dengan lahap setiap makanan yang
terhidang di hadapannya. Meski tak sebanyak biasanya, makanan-makanan yang ia
lahap dengan riang itu sangat berguna bagi tubuhnya. Saat banjir sedikit menyurut
dan Tuan Pemburu memerintahkan mereka keluar gua mencari perbekalan, tubuh
Trigo sudah cukup kuat untuk diajak bertugas. Bersama induk dan dua saudaranya,
dengan gagah ia menangkap buruan untuk dipersembahkan pada Sang Tuan. Juga
untuk diri mereka sendiri.
Setelah situasi normal kembali dan mereka kembali
pulang, Trigo semakin mantap meninggalkan kebiasaan lamanya. Kini ia selalu
makan dengan senang dan riang. Ia menyantap setiap hidangan dengan hati girang.
Kegemarannya berlari-larian setiap pagi membuat Trigo makin kuat dan cekatan. Ia pun menjadi
kesayangan Tuan Pemburu. Sama seperti kakak-kakaknya.[]
~ o ~
- CATATAN BAGI ORANGTUA
- Dongeng ini ditulis Agung Bawantara untuk membantu menangani anak yang malas makan.
- Setelah bercerita, jangan menyimpulkan. Biarkan anak mencerna sendiri isi dan moral cerita.
- Upayakan anak tak merasa dirinya disindir oleh cerita.
- Perlambat membaca dan beri tekanan yang lebih tegas pada kalimat yang diberi high light. Bila perlu diulang. Ingat, jangan sampai si anak merasa sengaja disindir dengan kalimat itu.