Oleh: Agung Bawantara
Di tengah semakin ketat persaingan global dan semakin menipisnya cadangan sumber daya alam, negara-negara di berbagai belahan dunia sibuk mencari alternatif perekonomian yang tidak bersandar pada Alam. Kini semakin banyak negara menyadari, ketergantungan terhadap sumber daya alam menimbulkan perilaku merusak Alam itu sendiri dan mengalihkan
pilihan pada ekonomi kreatif, yaitu perekonomian yang menjadikan kreativitas dan kemampuan intelektual sebagai dagangan utama. Ekonomi ini memanfaatkan kreativitas, ketrampilan, dan bakat seseorang untuk menciptakan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan. Upaya menjual komoditas yang bersifat kreativitas ini diistilahkan dengan industri kreatif.
Di negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat, industri kreatif disokong sepenuhnya dan kemudian terbukti mampu menggairahkan perekonomian negara bersangkutan. Di Inggris, sumbangan industri kreatif terhadap
pendapatan nasional negeri itu mencapai 8,2 persen. Jumlah tersebut melampaui pendapatan Ingggris dari sektor industri manufaktrur, seperti minyak dan gas.
Sebagai contoh, kota Manchester, yang dulu merupakan basis industri tekstil, kini dikenal sebagai kota sepak bola, desain, dan musik. Kota Sheffield, yang dulu dikenal sebagai pusat industri besi, sekarang menjadi tempat yang menyerap tenaga kerja terbesar untuk creative game dan software. Pabrik besi yang tidak lagi dipakai di kota
ini, direnovasi menjadi perkantoran-perkantoran kecil dan disewakan kepada pebisnis kreatif.
Sementara itu, kota Glasgow di Skotlandia, yang semula merupakan basis batubara, dirombak menjadi kota wisata untuk desain musik dan festival. Di kota ini, sebuah mercusuar diubah menjadi pusat desain arsitektur, pameran, dan ndidikan.
Karena terbukti memberi sumbangan cukup besar pada pendapatan negara dan mampu menyerap jutaan tenaga kerja, negara-negara berkembang, seperti Kolombia, Meksiko, India, Filipina, dan Singapura pun tak mau ketinggalan menggenjot industri kreatif mereka. Negara-negara tersebut segera memetakan wilayah industri kreatif dan memberi dukungan nfrastruktur yang memadai padanya. Tak heran jika di Singapura, misalnya, sumbangan industri kreatif terhadap pendapatan negara mencapai Rp 47 triliun per tahun.
Yang fantastik adalah Korea. Di negeri ginseng tersebut, pertumbuhan industri kreatif mencapai 20 persen per tahun, dan saat ini menjadi industri terbesar kedua setelah industri finansial.
Tren Industri Kreatif Indonesia
Belajar dari pengalaman negara-negara tersebut, Indonesia pun menggenjot laju industri kreatif—yang menurut para ahli ekonomi, potensinya sangat prospektif. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka Pekan Raya Jakarta, 12 Juni 2008 lalu, mengatakan bahwa selama empat tahun terakhir industri kreatif tumbuh rata-rata 6,3 persen dengan jumlah usaha 2,2 juta. Tenaga kerja yang terserap sebanyak 5,4 juta dan nilai ekspornya mencapai Rp 81,5 trilyun. Karena potensi tersebut, menurut Presiden, pemerintah telah menyediakan dana sebesar Rp 14 trilyun untuk membantu permodalan usaha kecil dan menengah di bidang industri kreatif.
Pernyataan tersebut menegaskan optimisme pemerintah yang memperkirakan
pada 2016 industri kreatif bakal menyumbang 10 persen bagi pendapatan
negara.
Sejauh ini, Pemerintah Indonesia mengelompokkan bidang-bidang
yang masuk dalam industri kreatif adalah periklanan, arsitektur, pasar
seni dan barang antik, kerajinan, desain, desain fesyen, video, film dan
fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan
& percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi &
radio, riset dan Pengembangan.
Bali & Industri Kreatif
Bali,
yang dikenal sebagai satu tujuan utama wisata dunia, memiliki sangat
banyak potensi kreatif. Selama berpuluh-puluh tahun pulau kecil ini
telah menjadi ladang subur bagi olah kreativitas dan melahirkan ratusan
maestro. Sejauh itu, geliat kreativitas tersebut lebih banyak diabdikan
sebagai yajnya atau untuk menyokong industri pariwisata. Belum ada
sentuhan khusus yang canggih berdasarkan logika industri kreatif yang
sehat. Karena berbagai sebab, keterlibatan para seniman/kreator Bali
dalam menentukan arah industri tersebut sangat minim. Tak heran jika
praktik-praktik eksploitatif yang merugikan seniman/kreator sangat kerap
terjadi. Itu realitas pertama.
Realitas lain: Pulau Bali merupakan
pulau kecil dengan sumber daya alam terbatas. Jika diekploitasi,
ketersediaan sumber daya alam yang terkuras tidak saja menimbulkan
kerusakan pada Alam itu sendiri, tetapi juga akan menggoyahkan sendi
budaya dan bangunan ekonomi masyarakat yang bersandar pada pariwisata.
Sebab, pariwisata sendiri berpijak pada keharmonisan keindahan Alam.
Karena itu, diperlukan ruang alternatif untuk menggerakkan perekonomian
Bali tanpa mengusik sumber daya alam yang ada.
Dua realitas tersebut
merupakan alasan yang cukup bagi Bali untuk menatapkan mata lebih
saksama ke arah industri kreatif, industri yang—sekali lagi—memanfaatkan
kreativitas, ketrampilan, dan bakat seseorang untuk menciptakan
kesejahteraan dan lapangan pekerjaan. Dan, hal ini yang perlu dipikirkan
secara serius oleh siapa pun yang dipercaya rakyat sebagai Gubernur
Bali mendatang.
PR Gubernur Baru
Lantas, apa yang bisa
dilakukan Gubernur Bali baru buat menyokong tumbuhnya industri kreatif
di Bali?
Dalam berbagai kesempatan, kerap dikumandangkan bahwa geliat
industri kreatif membutuhkan keterpaduan gerak antara pelaku usaha
industri ini dengan akademisi, penyandang dana, dan pemerintah. Dalam
hal ini, tentulah pemerintah daerah Bali diharapkan menjalankan “tugas
klasik” sebagai fasilitator, regulator, dan dinamisator yang menjaga
denyut industri ini semakin baik iramanya dari waktu ke waktu.
Pada
ranah ini, Gubernur Bali baru diharapkan memprakarsai terbentuknya
kebijakan strategis untuk memandukan semua elemen industri kreatif agar
berjalan seiring dan saling bersinergi. Gubernur baru harus memberi
perhatian penuh pada jalinan yang kait-mengait dalam bangunan industri
kreatif, mulai dari pembelajaran, permodalan, penggodokan desain-desain
baru, pemasaran, hingga dukungan politis.
Dalam hal pembelajaran,
peningkatan kreativitas sumber daya manusia tidak berhenti pada
sekolah-sekolah kejuruan, melainkan menyebarkan lebih banyak lagi
informasi dan panduan-panduan kreativitas melalui pelatihan terpadu,
kursus tertulis melalui majalah dinding di banjar-banjar,
menyelenggarakan rubrik pembelajaran di media massa, serta memberi lebih
banyak lagi bobot kreativitas pada pelajaran-pelajaran muatan lokal di
sekolah.
Dalam hal permodalan, harus ada upaya mengondisikan
perbankan agar mau melonggarkan fasilitas kredit bagi pelaku industri
kreatif. Sekadar pembanding, di Inggris banyak sekali wadah yang bisa
membantu orang kreatif tapi tidak punya dana dan tidak bisa meminjam ke
bank. Di negeri itu banyak lembaga-lembaga semacam Prince’s Trust yang
memberi pinjaman pelaku industri kreatif dengan bunga rendah.
Untuk
pembaruan dan revitalisasi desain, perlu didirikan pusat desain yang
bertugas mendokumentasikan dan mengembangkan desain-desain Bali,
termasuk melindungi hak atas kekayaan intelekual yang terkandung di
dalamnya.
Saat ini, memang tercatat, Bali telah memiliki lembaga
khusus pengembangan desain yang bernama Design Development Organization
(DDO) Bali. Namun, lembaga tersebut sungguh redup gaung kiprahnya. Yang
memprihatinkan, kegiatan “besar” terakhir yang dipublikasikan dalam
situs resmi mereka adalah Marketable Handicraft’s Design Access for
Japan & Production Skills yang diselenggarakan pada 27 Juli 2005!
Dalam
hal pemasaran, Gubernur mendorong keikutsertaan pelaku industri kreatif
Bali dalam pameran-pameran industri kreatif bergengsi. Pengiriman orang
ke ajang pameran tersebut mesti betul-betul ditujukan untuk
pengembangan industri kreatif, bukan seperti misi-misi kebudayaan selama
ini—di mana rombongan sebagian besar terdiri atas pejabat Pemda dan
keluarganya yang ketika di tempat tujuan lebih banyak shopping daripada
menjalankan misi. Padahal, uang saku dan fasilitas yang mereka terima
berlipat-lipat lebih besar dibandingkan dengan yang diterima seniman.
Berkaitan
dengan hal ini, Gubernur juga dapat memasilitasi kedatangan
seniman-seniman top dunia untuk tinggal di Bali selama dua atau tiga
bulan atas biaya Pemda. Sebagai kompensasinya, seniman top tersebut
wajib memberi workshop di sepuluh SMP atau SMA di seluruh Bali. Cara
ini, selain akan membuat anak-anak mendapat ilmu dan wawasan kreatif,
dengan kehadiran para seniman top tersebut akan secara otomatis menyedot
liputan media dunia. Ini adalah langkah promosi yang jauh lebih efektif
dan lebih berguna daripada misi kebudayaan dengan anggota rombongan
yang tak jelas.
Tulisan ini pernah dimuat di majalah SARAD No. 100/ Tahun IX Agustus 2008