Dongeng karya Agung Bawantara
Di sebuah hutan yang rindang, burung-burung berkicau setiap pagi, sibuk dengan urusan masing-masing. Di antara mereka, ada seekor burung gelatik. Burung ini, dengan bulu warna warni yang cantik, selalu tampak resah. Gelatik sering berpindah dari satu pohon ke pohon lain, mencoba hal-hal baru, namun tak pernah bertahan lama. Ia mudah bosan.
Suatu hari, burung gelatik melihat temannya, burung kutilang, sibuk mengumpulkan ranting untuk membangun sarang. Burung gelatik terbang mendekat dan berpikir, "Mungkin ini yang harus kulakukan."
Ia mulai mengumpulkan ranting juga, menyusun satu per satu di dahan pohon. Beberapa jam berlalu, dan burung gelatik sudah merasa lelah. "Ah, ini membosankan," keluhnya. Ia melempar ranting terakhir yang dipegangnya dan terbang meninggalkan sarangnya yang baru setengah jadi.
Hari berikutnya, burung gelatik melihat burung pipit yang bernyanyi riang di atas dahan pohon beringin. "Bernyanyi, ini pasti menyenangkan," pikir burung gelatik. Ia mulai membuka paruhnya dan berkicau, meniru suara burung pipit. Namun, tak lama berselang, ia menghentikan nyanyiannya. "Aku bosan lagi," katanya sambil mengepakkan sayap dan terbang pergi.
Hari-hari berlalu, dan burung gelatik mulai merasa ada yang salah. Apa pun yang ia lakukan, selalu berakhir sama—ia bosan. Ia melihat burung lain tampak bahagia dengan apa yang mereka kerjakan, tetapi dirinya? Tidak. Kegelisahan itu semakin besar hingga suatu hari ia hinggap di sebuah pohon tua di pinggir hutan. Di sana, burung hantu yang bijaksana sedang duduk diam.
“Kenapa kau tampak tak tenang, burung kecil?” tanya burung hantu.
Burung gelatik menarik napas panjang. “Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku sudah mencoba banyak hal, tapi semuanya membosankan.”
Burung hantu menatapnya dalam diam sejenak. "Mungkin masalahnya bukan pada apa yang kau lakukan, tapi bagaimana kau melakukannya. Pekerjaan besar hanya bisa kau selesaikan jika kau mencintai apa yang sedang kau lakukan."
Burung gelatik tidak segera menjawab. Kata-kata burung hantu tertangkap samar di pikirannya. Ia terbang meninggalkan pohon tua itu, merenung dalam perjalanan pulang.
Keesokan harinya, burung gelatik memutuskan untuk kembali ke sarangnya yang belum selesai. Ia memungut ranting lagi satu per satu. Kali ini, ia tidak terburu-buru. Ia mencoba menikmati setiap proses menempatkan setiap ranting. Hatinya terasa lebih tenang.
Namun, di tengah pekerjaannya, angin kencang datang. Gelombang angin itu menerjang hutan, membuat burung-burung lain panik. Sarang-sarang yang belum selesai berhamburan, termasuk milik burung pipit yang sedang bernyanyi di dekatnya. Melihat hal ini, burung gelatik dilanda keraguan. "Apakah ini semua sia-sia?" pikirnya. Ia merasa hampir putus asa. Angin semakin kencang, dan ranting-ranting yang sudah ia susun dengan susah payah beterbangan. Burung gelatik terdiam, bingung harus berbuat apa.
Di saat yang sama, burung kutilang terbang mendekatinya. "Kau buang-buang waktu untuk sarang kecilmu itu. Lihat sarangku, aku selesai lebih dulu!" ejek kutilang.
Burung gelatik menahan kesal. Kata-kata kutilang itu menusuk, membuatnya ragu. Apakah ia harus berhenti lagi? Atau terus mencoba, meski ia tak tahu apa hasilnya?
Namun, saat angin mulai reda, ia melihat sesuatu yang mengejutkan. Sarang burung kutilang yang dibangun dengan cepat sudah hancur berantakan. Sementara sarang kecil miliknya, meski belum selesai, masih bertahan di dahan pohon.
Burung gelatik tersenyum sendiri. Ia melanjutkan pekerjaannya dengan tekad yang baru. Ia sadar, sarang ini mungkin tak akan menjadi yang terbesar atau yang tercepat selesai, tapi ia akan menjadikannya yang paling kokoh—dan kali ini, ia menikmatinya.
Badai datang dan pergi, tetapi burung gelatik terus bekerja dengan hati yang lapang. Kini, ia mengerti bahwa hal-hal besar tidak lahir dari kecepatan, tetapi dari cinta yang kau berikan pada setiap detilnya. Ketika akhirnya, Burung gelatik berhasil menyelesaikan sarangnya, burung-burung lain kagum melihat betapa kuat dan indah sarang itu.[]