Rakit Nelayan Tua dan Batu yang Disisihkan



Dongeng oleh Agung Bawantara

Sungai itu lebar dan arusnya tenang dan di tepian sungai si nelayan tua bersiap menyeberang dengan rakit kecilnya. Di atas rakit, ada sekarung beras, seikat kayu bakar, beberapa kendi air, dan batu sebesar kelapa. Batu itu terlihat biasa saja, tapi bagi sang nelayan, batu itu penting.

Batu tersebut telah menemani si nelayan dalam banyak perjalanan. Biasanya ia gunakan untuk mengganjal tumpukan barang agar tetap stabil di tempat yang tidak rata. Namun hari itu, semua barang terletak rapi di atas rakit yang rata, sehingga batu itu hanya tergeletak di sudut, seolah tak diperlukan.

Saat rakit mulai bergerak, sekarung beras yang paling berat mulai merasa terganggu. "Mengapa batu ini masih ada di sini?" tanyanya dengan suara berat. "Ia hanya membuat rakit ini sedikit miring ke satu sisi."

Kayu bakar yang terikat rapi menambahkan, "Benar, batu itu sudah tak diperlukan lagi. Kita semua sudah tertata dengan baik di sini. Ia hanya beban yang tak ada gunanya."

Kendi-kendi air yang berdiri tegak, ikut berpendapat, "Lebih baik kita minta nelayan membuang batu itu. Ia hanya membuat rakit ini lebih berat dan tak stabil."

Batu yang sejak tadi diam di sudut rakit, mendengar percakapan itu dan berbicara dengan tenang, "Aku mungkin tidak sebermanfaat kalian saat ini, tapi tolong, biarkan aku tetap di sini. Aku bisa dipindahkan ke tempat lain jika diperlukan."

Namun, barang-barang lain tidak mengindahkan permintaan itu. Mereka mendesak sang nelayan untuk membuang batu tersebut ke sungai. Nelayan tua itu, yang telah menggunakan batu tersebut dalam banyak perjalanan, memandanginya sejenak dengan rasa enggan. Namun, mengikuti permintaan barang-barang lain, ia akhirnya mengangkat batu itu dan melemparkannya ke sungai.

Batu itu jatuh dengan suara lembut ke dalam air, tenggelam perlahan di kedalaman sungai. Sesaat, rakit kembali datar, dan barang-barang di atasnya merasa lega. Namun, tidak lama kemudian, rakit mulai miring lagi, kali ini ke sisi yang berlawanan. Kendi air yang terisi penuh merasakan perubahan itu pertama kali dan berkata dengan cemas, "Mengapa rakit ini miring lagi?"

Nelayan tua itu terus mendayung dengan tenang, pandangannya lurus ke depan. Rakit terus bergerak, berusaha menjaga keseimbangan di tengah aliran yang tenang namun penuh misteri. Tanpa batu itu, rakit kini bergantung pada keseimbangan yang rapuh, dan barang-barang di atasnya hanya bisa mengikuti gerakan rakit yang tak lagi seimbang. ***