Dongeng oleh Agung Bawantara
Di sebuah hutan lebat di kaki Gunung Gambro, hidup seekor rusa muda bernama Ranu. Ranu adalah rusa yang penuh semangat dan selalu penasaran dengan segala sesuatu di sekelilingnya. Di suatu malam purnama, hewan-hewan di hutan tersebut merayakan pesta bulan. Ranu tak mau ketinggalan, ia bergabung di keramaian para penghuni hutan, di mana cahaya kunang-kunang menyemarakkan malam yang riuh dengan nyanyian jengkerik dan binatang malam lainnya.
Di tempat pesta, Ranu melihat seekor monyet tua yang dikenal sering mencoba ramuan-ramuan aneh dari daun atau getah berbagai tumbuhan di hutan itu. Kadang ramuan itu ia campuri juga dengan getah pohon yang hanya tumbuh di hutan lain. Monyet itu menghampiri Ranu dan menawarkan sebotol air dari daun-daun yang berkilauan. "Minumlah, Ranu," kata monyet tua itu dengan suara yang ramah. "Ini akan membuatmu merasa lebih kuat dan berani."
Ranu yang penasaran langsung meneguk air itu. Ia merasakan kenikmatan pada tegukan pertama, dan semakin nikmat pada tegukan berikutnya. Setelah beberapa saat, Ranu merasa kepalanya ringan dan langkahnya menjadi goyah. Untuk ikut berjoget bersama-sama dengan hewan lain di puncak acara pesta, ia tak mampu. Ia hanya duduk saja menyaksikan kegembiraan teman-temannya dengan pandangan yang kabur.
Ketika semua pengunjung beranjak pulang, ia pun kembali ke sarangnya. Di tengah perjalanan, hujan mulai turun dengan deras, membuat tanah hutan menjadi licin. Kakinya sempat terantuk akar pohon saat ia berjalan melewati tikungan. Beberapa langkah kemudian Ranu baru menyadari bahwa salah satu kukunya terluka. Ia pun berhenti sejenak untuk memeriksa luka itu, tetapi ketika menundukkan kepala, ia malah tergelincir dan jatuh ke dalam rawa yang dalam. Ranu berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari lumpur yang pekat, namun setiap kali ia mencoba, kakinya semakin tenggelam. Ranu mulai panik, terutama saat permukaan air rawa itu terus naik akibat hujan yang deras. Dengan seluruh kekuatannya, Ranu akhirnya berhasil melompat keluar dari rawa. Tubuhnya penuh lumpur, dan ia menggigil kedinginan.
Begitu berhasil keluar dari rawa, Ranu segera melanjutkan perjalanan menuju sarang. Ia khawatir hujan lebat akan membuat situasi di tempat itu akan semakin buruk. Pada saat melangkah, ia menyadari sebuah daun besar menempel di salah satu tanduknya. Dengan kepala yang masih pening, Ranu berusaha menyingkirkan daun itu. Tetapi setiap kali ia mencoba menggoyangkan kepalanya, daun itu malah bergerak ke sisi lain. Ranu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras, melompat-lompat, bahkan berputar-putar dengan kikuk, tapi daun itu tetap menempel.
Ia sempat jengkel pada dirinya sendiri yang tak bisa mengatasi hal mudah yang biasanya ia lakukan dalam beberapa detik saja. Ia pun memusatkan perhatiannya, lalu dengan satu gerakan yang sangat berlebihan, daun itu pun berhasil ia lepaskan dari tanduknya. Walaupun gerakan itu membuat Ranu kembali terhempas ke tanah.
Beberapa menit kemudian, setelah sanggup berdiri kembali, dengan susah payah Ranu melanjutkan perjalanannya. Langkahnya goyah, dan kakinya terasa berat. Di tengah malam yang gelap, tiba-tiba kilat menyambar pohon besar di dekatnya. Suara petir yang menggelegar membuat Ranu terkejut, dan sebuah dahan besar yang patah meluncur ke arahnya. Kali ini Ranu yang telah waspada berhasil menghindar. Ia pun selamat dari hujaman dahan yang sangat berbahaya itu.
Setelah sempat menenangkan diri beberapa saat, dengan tubuh lelah dan kaki terluka, Ranu berjalan setapak demi setapak menuju sarangnya. Ia tak lagi peduli dengan dinginnya malam dan lumpur yang menempel di bulunya. Di bawah tatapan bintang-bintang yang sinarnya semakin samar Ranu akhirnya berhasil mencapai sarangnya. Setelah mandi dan mengobati lukanya, ia pun segera tidur untuk memulihkan kesehatannya. []