Dongeng karya Agung Bawantara
Ini entah yang keberapa ratus kali Zuki memanjat pohon kemiri aneh yang oleh penduduk di desanya dijuluki Pohon Kemiri Ajaib. Sejak kecil, Zuki selalu tertarik pada kemiri ajaib itu. Setiap kali dia melewati pohon itu, dia merasakan dorongan kuat untuk memanjat dan meraih buah kemiri tersebut. Namun, setiap kali dia mencoba, pohon itu tampak semakin tinggi dan kemiri itu semakin menjauh, seolah-olah menguji ketekunan dan tekadnya.
Zuki mungkin bukan pemuda biasa. Saat teman-temannya sibuk dengan permainan dan pekerjaan sehari-hari, Zuki terus terpikat oleh misteri kemiri ajaib itu. Penduduk desa sering memperingatkan, "Kemiri itu bukan untuk kita. Hanya mereka yang benar-benar memiliki hati yang murni yang dapat mengungkap rahasianya." Namun, Zuki tak terpengaruh. Dia yakin kemiri itu mengandung sesuatu yang sangat berharga, dan dirinyalah yang akan mendapatkannya.
Waktu terus berlalu, dan Zuki semakin dewasa. Dia telah mencoba memanjat pohon itu ribuan kali, tetapi selalu gagal. Setiap kegagalan bukan membuatnya mundur, tapi semakin memperkuat tekadnya. Suatu hari, seorang saudagar kaya dari desa tetangga datang ke desa Zuki. Saudagar itu mendengar tentang keuletan Zuki dan tertarik untuk membawanya bekerja di perusahaannya yang besar dan berkembang. "Kau memiliki tekad yang kuat, Zuki. Datanglah bekerja denganku, dan aku akan memberimu kehidupan yang lebih baik. Kau bisa membantu mengelola ladang-ladangku yang luas dan mendapatkan kekayaan yang tak terbayangkan," kata saudagar itu.
Keluarganya sangat bangga dan mendorong Zuki untuk menerima tawaran itu. Mereka membayangkan kehidupan yang lebih mudah dan sejahtera bagi Zuki. Namun, meski tawaran itu menggoda, Zuki merasa panggilan dari Pohon Kemiri Ajaib itu masih lebih kuat.
Setelah semalam merenungkannya, Zuki pun membuat keputusan yang mengejutkan banyak orang. Dia menolak tawaran saudagar kaya itu dan memilih untuk tetap tinggal di desanya. "Pohon ini adalah takdirku," katanya kepada keluarganya. "Aku harus menemukan apa yang tersembunyi di dalam kemiri itu."
Penduduk desa menganggap Zuki gila. Mereka mengingatkannya tentang kesempatan yang dia lewatkan, tentang semua hal yang bisa dia capai jika dia menerima tawaran saudagar itu. Namun, Zuki tetap teguh. Dia merasa bahwa seluruh hidupnya telah diarahkan ke momen ini, bahwa dia tidak bisa berpaling dari jalannya sekarang.
Hari demi hari, Zuki kembali ke pohon itu. Namun kali ini, dia tidak hanya mencoba memanjatnya. Dia mulai mengamati pohon dan sekitarnya dengan lebih teliti. Dia memeriksa akar-akar pohon, mempelajari struktur batangnya, dan bahkan duduk berjam-jam di bawah pohon, mendengarkan suara-suara alam yang mengelilinginya. Zuki merasa ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang belum dia pahami. Suatu hari, setelah menghabiskan waktu yang lama di bawah pohon, Zuki menemukan sesuatu yang aneh di sekitar akar pohon. Ada ukiran-ukiran kecil di tanah yang membentuk pola tertentu, hampir seperti simbol kuno yang pernah dia dengar dari cerita ibunya di masa kanak.
Dia mulai menggali di sekitar akar pohon dengan hati-hati dan menemukan sebuah batu kecil dengan simbol yang sama terukir di atasnya. Ketika Zuki memegang batu itu, dia merasakan getaran lembut yang seakan menghubungkan dirinya dengan pohon. Tiba-tiba, dia menyadari bahwa rahasia pohon ini bukan hanya tentang kekuatan fisik untuk memanjat, tetapi tentang pemahaman mendalam dan hubungan dengan alam di sekitarnya.
Pada suatu malam yang gelap, ketika langit diselimuti awan tebal dan desa tenggelam dalam keheningan, Zuki kembali ke pohon itu. Dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya, dan dengan batu kecil yang ditemukan di tangannya, dia mulai memanjat. Kali ini, cabang-cabang yang biasanya menjauh tampak merunduk ke arahnya, seakan menyambut usahanya. Zuki menyadari bahwa batu kecil itu adalah kunci yang telah dia cari selama ini—kunci untuk berkomunikasi dengan pohon.
Dengan setiap tarikan dan dorongan, Zuki merasa semakin dekat dengan kemiri yang selama ini mengelak dari jangkauannya. Pohon itu, yang sebelumnya tampak tak terjangkau, kini merespon usahanya dengan cara yang ajaib. Pohon itu telah menguji ketekunan dan kesabarannya, tetapi juga menunggu saat ketika Zuki benar-benar memahami rahasianya.
Akhirnya, Zuki mencapai buah kemiri ajaib itu. Dengan tangan gemetar, dia meraih kemiri yang selama ini menjadi obsesi dalam hidupnya. Cahaya lembut memancar dari buah itu, menghangatkan hatinya. Zuki turun dari pohon dengan hati-hati, membawa kemiri itu dengan rasa hormat dan takjub.
Di bawah sinar rembulan yang samar, Zuki duduk di bawah Pohon Kemiri Ajaib dan memegang buah itu di tangannya. Dengan napas tertahan, dia membelah kemiri itu. Begitu tebuka di dalam batok yang keras itu terdapat sebuah biji kecil yang memancarkan cahaya hangat. Sebelum sempat menyentuhnya, Biji itu berujar : “Aku bukan sekadar biji, aku benih pengetahuan dan kebijaksanaan. Benihkan dan tanam aku di tanah terbaik di desamu.”
Zuki terpesona. Ia membawa biji itu ke desanya dan menanamnya di tanah yang paling subur. Biji itu pun tumbuh menjadi pohon baru, yang buahnya menjadi bagian dari asupan sehari-hari penduduk desa.
Desa itu kemudian berkembang menjadi pusat pengetahuan, tempat orang-orang dari seluruh penjuru dunia datang untuk belajar.***