Jay Subiakto Melecehkan Bali?

Oleh: Agung Bawantara

Di awal tahun 2000, Bali sempat digegerkan oleh pembuatan sebuah program entertainment yang diproduksi sebuah stasiun televisi swasta untuk menyongsong datangnya milenium baru. Waktu itu, sebagian masyarakat dunia menganggap tahun 2000 sebagai permulaan milenium ketiga, namun belakangan ramai-ramai meralatnya dan menetapkan tahun 2001 sebagai tahun awalnya. Yang membuat geger bukanlah awal millenium ketiga tersebut
bermula di tahun 2000 atau 2001, tetapi karena acara yang dirancang dan disutradarai oleh Jay Subiakto itu menampilkan tari Sanghyang Dedari yang direkam di pelataran pura Gunung Kawi.

Apa yang salah tentang hal itu?

“Tentu saja salah,” demikian masyarakat menghardik melalui pers daerah. Soalnya, kata mereka, tari Sanghyang Dedari adalah tari yang disakralkan oleh masyarakat Bali. Ia bukan jenis tarian biasa yang bisa ditarikan dan ditonton sembarangan. Ia adalah tari wali yang digelar pada hari-hari khusus dan di tempat-tempat khusus pula. Dan Pura Gunung Kawi, meskipun merupakan wilayah yang disucikan, bukanlah tempatnya untuk menggelar tarian “purba” tersebut.

Jadi, kata tulisan-tulisan tersebut, Jay Subiakto telah menodai kesakralan tari Sangyang Dedari sekaligus menjungkirbalikkan tatanan adat Bali dengan mementaskan tarian tersebut bukan pada waktu dan tempat yang semestinya. Itu artinya Jay telah melecehkan Bali. Ia telah melecehkan Hindu.

Sebelumnya, Bali juga sempat geger oleh tayangan sebuah video clip grup musik Saigon Kick asal Australia. Dalam tayangan video clip tersebut tampak para personel grup tersebut beraksi di altar pelinggih yang disucikan oleh umat Hindu. Tak pelak lagi, masyarakat Bali ramai-ramai melontarkan umpatan: “Melecehkan Hindu!”

Setelah dijaraki oleh rentangan waktu yang cukup lama, tampaknya dua kasus di atas menarik untuk dicermati kembali. Hal ini terutama bagi kepentingan dunia kreatifitas khususnya di bidang audio-visual guna memperoleh pegangan yang pasti tentang hal mana yang boleh dan hal mana yang tak boleh untuk dilakukan dalam jagad kebudayaan Bali.

Pariwisata Bali dan Pemburu Eksotisme

Untuk mencermati kembali dua kasus di atas, barangkali menarik jika kita bertanya pada diri sendiri, benarkah grup Saigon Kick dan Jay Subiakto berniat hendak melecehkan Hindu? Cukupkah hanya dengan merujuk pada gambar-gambar video clip itu kita langsung boleh mengarahkan telunjuk ke muka mereka dan memvonisnya sebagai orang yang melecehkan Hindu?

Katakanlah jawabannya “Ya”. Lalu, apa untungnya bagi mereka di tengah kecenderungan dunia yang begitu deras dilanda kepentingan ekonomi ini? Pertanyaan berikutnya, kenapa untuk melecehkan Hindu mereka memilih Bali, bukannya India saja sekalian? Seberapa strategiskah Bali dalam “konstalasi” Hindu Dunia?

Terlepas dari setuju atau tidak terhadap apa yang mereka lakukan, menurut hemat penulis, belum cukup kuat rasanya untuk menuding grup Saigon Kick maupun Jay Subiakto sebagai orang-orang yang dengan sengaja melecehkan Hindu (Bali). Sebab seandainya benar-benar ada desain tertentu untuk meruntuhkan Bali melalui penjungkirbalikkan nilai dan simbol-simbol sakral Bali, tentu tak begitu susah membuat miniatur Bali di tempat tertentu lalu mengobrak-abriknya untuk membuat citra yang buruk mengenai Bali. Bukankah film Tjoet Nja' Dhien sebagian besar digarap di daerah Pelabuhan Ratu dan hanya sebagian kecil saja dibuat di Aceh. Film Titanic pun hampir seluruh produksinya dibuat di studio, bukan di lautan Atlantik. Dengan kecanggihan teknologi saat ini, apa sulitnya membuat meru atau pelinggih tiruan lalu memperlakukannya sesuka hati?

Dalam kacamata penulis, apa yang dilakukan Saigon Kick maupun Jay Subiakto tak lain dari sekadar menuruti dorongan keinginan untuk menampilkan eksotika dalam karya mereka. Itu saja. Dan dalam dunia kreatifitas, perlombaan menampilkan eksotisme bukanlah sesuatu yang aneh. Itulah sebabnya mengapa film-film berseting masyarakat pedalaman, zaman kerajaan, dan sebagainya, terus bermunculan.

Nah, sebagai daerah tujuan utama pariwisata Indonesia, boleh dikata Bali menjadikan eksotisme budayanya sebagai dagangan utama. Sejak pemandangan alam, upacara adat, berbagai aktivitas keseharian, hingga penyebutan pulau Bali sebagai Pulau Dewata, semuanya disajikan secara eksotik dalam brosur-brosur yang ditebar ke seluruh penjuru jagat. Itulah yang menarik wisatawan dari berbagai penjuru dunia berdatangan ke Bali. Sebarapa besarkah Bali menawarkan nilai dibanding eksotika dalam praktek industri pariwisatanya?

Karena itu, tak perlu kaget jika kemudian orang-orang dengan kepentingannya masing-masing, termasuk grup Saigon Kick dan Jay Subiakto, berbondong-bondong datang ke Bali untuk menikmati bahkan memanfaatkan eksotika yang memang luar biasa itu. Di sinilah pentingnya aturan yang jelas mengenai hal mana yang boleh dan yang tidak agar datangnya para pemburu eksotisme itu tidak justru merugikan Bali sendiri. Dan aturan yang jelas itu harus disosialisasikan secara terencana dan sistematis.


Bali dan Media Audio-Visual

Dalam konteks audio-visual, uraian dan saran di atas masihlah terasa sebagai sebuah langkah dimana Bali berada pada posisi yang pasif. Orang Bali hanya menentukan rambu-rambunya lalu membiarkan siapa saja bermain di tengahnya. Sementara, orang Bali sendiri hanya tenang-tenang menontonnya. Ibarat membuat hidangan, orang Bali hanya merumuskan resep tanpa berupaya menyuguhkan sendiri cita rasa khas Bali itu. Karena itu, bisa dihitung dengan jari karya-karya audio-visual mengenai Bali yang disuguhkan dengan “cita rasa” Bali. Hampir sebagian besar –untuk tidak mengatakan seluruhnya— karya-karya yang ada berangkat dari kaca mata orang luar sehingga tak jarang terjadi berbagai “kecelakaan” kreatifitas akibat kesalahan penafsiran atau ketidakpahaman (ingat kasus film “Nusa Penida” yang dilarang beredar di Bali karena kesalahan penggambaran soal kasta).

Melihat hal itu, maka sudah saatnyalah kini Bali berupaya menguasai sendiri secara baik media audio-visual. Sebab selain alasan di atas, ada dua alasan penting lainnnya yang mengharuskan Bali untuk itu.

Pertama, media audio-visual begitu powerfull dalam pembentukan citra dan penyebaran nilai. Di era dimana televisi dan perangkat audio-visual lain telah menjadi bagian penting dari kehidupan kita, barang siapa yang menguasai jaringan media ini dialah yang memiliki kesempatan paling besar dalam menentukan warna dunia. Lihatlah bagaimana Amerika Serikat menentukan tren dunia melalui film-filmnya. Ketertinggalan, lebih-lebih ketakpedulian, untuk memasuki jaringan media ini merupakan awal kekalahan dalam proses tawar menawar nilai yang berlangsung terus menerus. Jika itu terjadi, maka bersiaplah untuk menyaksikan era dimana anak-anak Bali dengan suka cita meninggalkan wayang atau arja untuk mengejar Power Ranger.

Alasan kedua, media audio-visual merupakan dokumentasi kebudayaan yang dapat merekam otentisitas dalam pencapaian-pencapaian masyarakat Bali yang dapat ditengok secara terus menerus untuk dipelajari dan disempurnakan. Dengan penguasaan media audio-visual yang baik, realitas hari ini dapat terekam sebagai jejak peradaban yang dapat dinapaktilasi dengan mudah. Kecemerlangan maestro-maestro seperti Ni Reneng, I Mario, Ida Bagus Made, Pedanda Made Sidemen, Gede Geruh, dan lain-lain, akan mudah ditengok kembali. Atau, kemegahan upacara Ekadasa Rudra yang berlangsung 100 tahun sekali itu dapat di saksikan oleh generasi-generasi berikutnya bahkan hingga ke pernik-pernik yang terkecil.

Sudah saatnya orang Bali mampu memaparkan sendiri keunikannya melalui media audio-visual. Ini akan mempersempit ruang bagi terjadinya kesalahpahaman dan “kecelakaan” kreatifitas seperti yang kerap terjadi selama ini. Sehingga tak lagi ada sikap reaktif sembari mengumpat keras-keras: “Melecehkan Bali!”

Tulisan ini pernah dimuat di majalah "SARAD", majalah bulanan yang khusus membahas budaya Bali

Post a Comment

Previous Post Next Post